Setelah menonton film sci-fi Dune di gedung theatre, kali ini mari nonton di home theatre. Tempatnya di galeri Tasindo Audio yang berada di lantai 1, nomor 66, Belleza mal, Permata Hijau, Jakarta Selatan. WhatHiFi Indonesia mengundang Wiyono Zhang, Ferri Effendi, Budi Satria, Reagen Engelbert dan Denis.
Film ini cukup panjang, nyaris 2.5 jam, dan terlihat khususnya di tata suara, film ini menyita perhatian teman teman yang kami undang ini. Tak heranlah karena ada Hans Zimmer di balik soundtrack Dune. Ini adalah film 4K Dolby Atmos yang kami putar pada layar Screen Research berukuran… Film epic ini menampilkan Dolby Vision yang ditampilkan dengan akurat oleh dua proyektor SIM 2 yang dikawinkan. Seperti dikatakan Budi Satria, mulai dari awal hingga akhir, penonton diajak terpukau dengan penataan suaranya yang imersif dari segala aspek, khususnya saat adegan peperangan. Banyak yang berpendapat, inilah salah satu film dengan track track Dolby Atmos terbaik, yang menyajikan tidak saja suara imersif, tetapi juga kaya akan efek suara yang mampu menghidupkan gambar.
Film ini dikoregrafikan dengan sangat baik, dikemas dalam nuansa yang kaya akan suspense. Jalan ceritanya juga menampilkan karakter kepahlawanan seperti yang ditampilkan karakter Duncan Idaho (Jason Momoa) yang membela keluarga House Atreides.
Jalan ceritanya, yang merupakan karya tulis dua penulis veteran, John Spaihts(menulis film Promotheus) dan Eric Roth(yang menulis film Forrest Gump) walau terkesan biasa, mampu juga membawa emosi di banyak scene, dan mengundang kaingin tahuan, walau di bagian akhir, film ini seperti dibiarkan berlalu tanpa misalnya ditutup dengan kekalahan Arrakis.
Komentar
Saat mengomentari kesan nonton, Reagen memunculkan istilah boomer, yakni merekam dengan boomer dibandingkan dengan yang direkam di studio. Ada scene awal Dune (saat Paul Atreides ingin mengambil gelas yang diberikan Lady Jessica) yang menurut Reagen memakai boomer, dimana voicenya beda dengan voice human di banyak scene pertengahan hingga akhir film. Dengan boomer, tak banyak karakteristik/unsur kosmetisnya menurutnya
Reagen pun berpendapat, suara tampil presisi, hingga kita mudah terbawa kepada nuansa film.
“Suara vokal sesuai posisi aktornya”katanya sambil kemudian mengatakan bahwa misalnya untuk suara pesawat, dia juga merasa suara belakang itu lancar mengalirnya. Dari pelan hingga terdengar kencang, juga saat pesawat ini memutar.
Budi Satria berpendapat, bahwa tampilan suara dan gambarnya ‘breathtaking’, dari scene awal hingga akhir.
“Biasanya saya saat nonton film panjang seperti ini, sesekali tertidur. Ini tidak”katanya. Budi menyayangkan film ini sangat jarang ada adegan di malam hari, karena dia ingin melihat bagaimana kedalaman kehitaman(black level)nya.
“Saya menunggu barangkali ada adegan dimana saya bisa melihat black level. Saya kebetulan di rumah memakai yang kuno, tetapi black levelnya bagus. Menurut saya jika sebuah film bisa menampilkan level kehitaman yang pekat, keluaran warnanya pasti bagus sekali. Dan disini saya enak saja menonton”katanya.
Ferri Efendi terkesan akan efek surround sistemnya ini, termasuk di sajian infra bass.
“Walau tidak mendengar, tetapi efeknya terasa”katanya. Suara seperti objek pesawat, muncul perlahan hingga akhirnya besar dan perlahan menghilang, dengan posisi yang sesuai objek. Dia terkesan juga dengan efek suara memutar mutar dari pesawat. Di sisi lain, dia merasa kesan suaranya di sini beda dengan saat menonton di bioskop. Dia bertanya apakah beda konsep Dolby Digital disini dengan di bioskop?
“Ada yang beda. Jika di bioskop dia punya alat khusus dan untuk alat ini dia mensyaratkan tidak boleh pakai merk lain selain yang sudah license mereka. Jadi dari film itu harus masuk ke Dolby decoder. Baru keluarnya boleh memakai prosesor apapun. Jadi ada memang yang mereka kunci”kata Hendranata dari Tasindo Audio. Tasindo Audio sendiri memakai prosesor Altitude 32 yang tentu sudah mendapatkan lisensi dari Dolby Digital. Menurut Hendra, Trinnov juga memiliki prosesor untuk yang kelas professional (untuk di gedung bioskop).
Wiyono Zhang usai menonton menyarankan agar dinding ceiling dicat warna hitam untuk efek pantulan yang lebih baik. Tadinya, Wiyono menduga kursi yang ada ditempeli tactile transducer(alat penggetar kursi sesuai adegan film). Ternyata memang tidak dipasang. Menurut Hendra, ruang ini akustiknya sangat minim dan nyaris tak pakai peredam.
Inilah sebagian kesan dan komentar mereka. Di kesempatan lain, kami rencananya juga akan menggelar kembali acara nonton bareng plus diskusi film di ruang demo home theatre dan atau musik dari Tasindo Audio ini, juga ke beberapa toko audio dan film lain yang memang berkenan.