Seorang pehobi audio yang rumahnya banyak diisi perangkat audio era tahun 60-an, mengundang kami ke rumahnya.
Adi(sebutlah namanya demikian) suka akan musik. Aneka genre rekaman dia punya, kecuali satu dua genre tak kami temukan di koleksi yang disimpannya dalam satu rak. Kami tidak tengah ingin bicara tentang koleksinya terutama, melainkan lebih kepada bagaimana di awalnya dia ingin meyakinkan diri, apakah keakustikan rumahnya bisa dia buat setidaknya kondusif bagi sistemnya untuk bermain optimal.
Tentu saja akan lebih optimal bila kita mengundang seorang penata ruang alias desainer akustik dan interior. Sayangnya, budget main audionya terbatas.
Di rumahnya yang tiga lantai ini, Adi punya tiga ruang audio di setiap lantainya. Tetapi yang dijadikannya sebagai ruang dedicated audio, adalah yang di lantai tiga. Tampilannya seperti anda lihat di halaman ini.
Ruangan ini tidak kotak, dan tidak simetris di disisi depan, alias dinding depannya menekuk ke dalam. Bentuk antara dinding kiri dan kanan jadi tidak membentuk kotak. Begitu pun dengan atapnya yang menekuk ke bawah (lihat ceiling pojok ruang di foto samping). Dinding kiri dan kanan yang tidak simetris demikian bertujuan untuk mengenyahkan standing wave.
Suatu kali Adi pernah bertanya kepada Handy Wijaya, seorang praktisi desain akustik ruangan tentang apakah ukuran ruangannya termasuk ideal untuk golden ratio(dengan menyebut ukuran ruangannya yang 5,3 x 6,4 x 2,75meter). Menurut Handi, dengan ukuran demikian, golden rationya masuk. Setelah mendengar cerita singkat Adi tentang ruangannya, Handi juga menyarankan untuk memiringkan saja sisi depan, dimana selisihnya bisa 30 cm
Di sisi belakang ruang, dia pasang panel serap dengan memakai bahan glasswool yang ditutup kain, sehingga suara yang ke arah dinding ini akan diserap habis, tidak memantul kembali.
Di sisi ceiling, Adi memakai bahan akustik bernama Armstrong, sedangkan di lantai, memakai kayu parket. Ini benar benar kayu, bukan mdf yang terlapis vinil. Di bawah parket ini kata Adi ada sebuah lapisan multiplek 15 milimeter.
Adi hanya meletakkan diffuser di tengah depan(lihat foto atas). Di sisi depan ini juga ada sebuah sudut, yang lalu ditutupnya. Ini memang salah satu usaha untuk bagaimana mensiasati risiko negatif efek sudut ruang, yakni suara bisa memantul kembali. Pantulan ini akan membuat suara seperti balapan di depan, yang akan menimbulkan bass yang boomy, cancelling atau echo.
Inilah menariknya bila kita membangun ruang audio dari nol, karena setidaknya bisa kita arahkan bentuk dan dimensi ruang kepada apa yang ideal dari sisi keakustikan ruang terutama.
Cerita lebih lanjutnya, memang lebih baik kita baca di edisi Mei 2021 WhatHiFi Indonesia. Karena disini juga ada cerita tentang bagaimana Adi bermain di sistem audionya yang sebagian darinya pernah mengecap predikat ‘legend’. Pernah jaya di jamannya.
Mari, kita budayakan membaca kabar audio dan video dari negeri sendiri