Seorang sutradara film, sebut saja inisialnya dengan R, pernah dibuat takjub dengan bagaimana sistem dan ruangan home theaternya dapat menampilkan film yang dia buat sendiri untuk tujuan komersial dengan sangat baik, baik di gambar maupun suara. Maka dia pun menjadikan ruangannya ini tidak saja untuk menghibur, tetapi juga sebagai ruang referensi pribadi, dimana dia bisa bekerja didalamnya dengan menguji hasil hasil kerjanya dalam produksi film. Tetapi belakangan ia menyadari, masih ada yang kurang dengan ruangannya ini. Masih ada yang kurang lengkap, khususnya di suara. Apakah itu?
“Kalau saya kan bisanya mengatakan dari rasa, bukan dari di frekuensi angka berapa dan lain lain dan hal teknis lain yang maaf saja saya bukan orangnya – melainkan dari informasi suara yang seharusnya muncul pada film film saat adegan tertentu, karena saya sudah hafal sekali. Saya lalu berdiksusi dengan Pak Ananto, Pak Handy Widjaya dan Pak Sie Kek Chung, bahwa ada sesuatu yang masih ingin saya dapatkan”kata R kepada WhatHiFi Indonesia.
Lumrah memang, sebagai seorang sutradara film yang-film filmnya tak jarang mendapat penghargaan bergengsi, R pasti (dituntut untuk) hafal betul bagaimana adegan tertentu itu menampilkan suara yang harusnya tampil seperti apa, misalnya di kepenuhan suaranya seperti apa, detailnya seperti apa dan lain lain sebagaimana juga yang dia inginkan. Begitu ternyata kemudian dia dapati masih ada yang kurang dalam tampilannya, maka barulah dia menyadari bahwa ruangan yang hebat ini, masih perlu diperhebat lagi.
Dari obrolan antara R dengan teman teman seperti disebutnya di atas, R pun sepakat bahwa perlu dilakukan tiga hal, yakni :
* Membuat baffle wall di area depan, yakni di belakang layar. R kemudian mengetahui bahwa dengan baffle wall inilah cara yang digunakan oleh Handy Widjaya untuk memberikan solusi meminimalkan refleksi dan difraksi suara dari box main speaker di area depan. Untuk lebih jelasnya, anda bisa lihat foto di bawah ini :
* Perlu ditambahkan speaker(woofer) untuk mempertebal suara vocal dan terakhir, surround processor perlu di”upgrade” ke level yang dapat merepro pergerakan dan efek surround secara lebih akurat. Penambahan woofer ini muncul karena ada saran untuk menambah frekuensi bawah yang bukan dari sub. Maka ditambahlah range di mid low kebawah yang belum LFE (Low Frequency Effect).
* Prosesor suara (surround) perlu di”upgrade”. Kami lebih memilih tidak menyebut merknya. Mengapa perlu di”upgrade”? Bukankah R pernah mengatakan bahwa ini adalah prosesor audio yang hebat?
“Processor ini sebenarnya luar biasa untuk harga dan kemampuannya. Akan tetapi saya ingin melakukan semacam tweaking lagi. Dan gatalnya saya untuk lebih lagi, ternyata juga gatalnya mereka (Ananto, Handy Widjaya dan Sie Kek Chung) juga. Ini yang menurut saya menarik. Diskusinya menjadi bagaimana caranya untuk memberi tools yang lebih baik untuk tim ini untuk dapat memenuhi. Jadinya, maka ujung ujungnya saya memilih Trinnov. Akan tetapi saya memilih Trinnov utamanya bukan karena merknya, tetapi karena (didalamnya) sudah ada mainannya. Dan saya yakin ini sudah maksimal. Jadi tinggal silahkan main”kata R.
Dari obrolan kami selanjutnya, R pun sempat juga mengatakan lebih rinci lagi tentang mengapa dia memilih prosesor buatan Trinnov Audio ini. Pertama, ketika R ingin menambah modul/kartu di prosesor yang lama agar bisa menambah channel, dan dia mengirimkan permintaan ini ke principal merk ini, ternyata sulit mendapatkan jawabannya. Alternatifnya, team lalu memberi solusi untuk menyatukan DSP eksternal pada satu titik. Di sisi lain, R tertarik dengan pendapat Ananto, sahabat dekatnya yang juga sangat berpengalaman dalam dunia video. Ananto mengatakan bahwa ini ide bagus memakai prosesor ini karena melihat semua amplifier R itu adalah digital. Jadi memang disini bicaranya adalah tentang digital.
“Saya memang perlu berdiskusi sebelum yakin benar menjatuhkan pilihan kepada prosesor ini, karena harga processor ini terhitung tinggi. Menurut saya, kalau mau masukin Auro 3D dan lain lain tadi, kita kan mesti mikirin benar-benar bagaimana membongkar. Tetapi ini tentu sebuah tantangan yang menarik. Saya dengan Ananto sampai sering berdiskusi seperti tentang placement secara teori yang tepat, dan lain lain”kata R.
Altitude 32 ini tidak hanya sudah Dolby Atmos, tetapi juga sudah DTS X: Pro dan Auro 3D. Tentu saja kemampuan ini kami yakin turut menjadi benefit bagi R.
Setelahnya
Singkat cerita, terealisasilah apa yang direncakan R. Baffle Wall dikerjakan oleh Handy Widjaya dari PT Esa Sinergi Selaras Indonesia, yang juga menambahkan speaker woofer, seperti terlihat pada gambar. Sedangkan untuk prosesor, hadirlah Liem Hendranata dari Tasindo Audio yang melakukan setting kalibrasi dari Trinnov Altitude 32. Begitu pun Sie Kek Cung dari KC Sound yang melakukan setting suara. Mereka inilah yang berperan dalam merealisasikan keinginan R, yang sebagian juga merupakan hasil diskusinya dengan Ananto.
Hasilnya, R sempat bercerita betapa kini ruangan ini sudah bisa menampilkan apa saja suara yang memang dia inginkan untuk disajikan di film karyanya. R juga sempat bercerita, bagaimana takjubnya teman temannya ketika dalam suatu kesempatan terpisah, datang berkunjung ke ruangan ini. Sejak ‘ruangan baru’nya ini jadi, dia terhitung lebih sering mengundang orang.
Mereka ada yang cameramen, sound mixer, komposer dan sound recordist, juga pemain filmnya. Menurut R, selepas menonton mereka terkesan sekali, bahkan ada yang sampai merinding bercampur speechless, bagaimana takjubnya mereka mendengar hasil karya mereka bisa ditampilkan sebagus itu. Mereka merasa bangga bisa mendengar dengan experience sebagus itu.
“Mereka semua kaget. Pertama dari kemampuan ruanganya. Kedua, mereka tanya, mengapa pengalaman menonton di ruangan ini bisa lebih hebat ketimbang di bioskop. Tetapi yang ketiga, mereka jadi khawatir sendiri akan bagaimana nantinya bila streaming konten jauh lebih seru ditonton daripada ke bioskop?”kata R. Steaming media dikatakannya adalah media masa depan. Dan R yakin, media streaming (yang baik) harus bisa lolos ruangannya ini.
“…mereka saja kaget. Yang bikin lebih kaget, mereka baru memberi saya stereo mixnya. Dan kita upmix ke Atmos di ruang ini. Mereka seperti tidak mengerti apa yang terjadi. Virtualisasinya sampai dialog di tengah betul. Padahal mixingnya hanya stereo saja. Sound efek dari tengah, tetapi ini kan stereo mixer. Kok prosesornya bisa nebak untuk taruh lagu dimana dan lain lain”tambah sutradara yang kini juga tengah membuat film Doku Series untuk Vision Plus tentang dunia makanan ini.
Ini tentu merupakan hasil dari ketiga usaha tersebut di atas. Kombinasi yang apik antara baffle wall, penambahan woofer, hadirnya prosesor suara surround baru, serta kepiawaian setting, memaksimalkan suara bioskop dalam rumah.
Suara kini tampil lebih fokus. Saat digunakan menonton film The Matrix, khususnya di Lobby Scene, menurut R – bass antara low frekuensi efek dari pistol yang ditembakan di scene ini dengan lagunya tidak mengalami overlapping. Ditembak dari arah mana pun, keganasan semua suara terkendali.
“Its magic. Kini dengan ringan suara direpro dengan baik”kata R. R sempat sharing tentang bagaimana pentingnya kesatuan antara musik dengan efek suara, misalnya tembakan, khususnya dalam hal reproduksi bass. Sebelumnya, dia pernah merasakan bagaimana musik dan efek (dari film ini) telah menyatu tetapi bassnya kurang terasa tight. Jadinya keseruan dari cerita dan musik tidak ada. Menurutnya, ketiga hal tadi tidaklah terpisah.
“Karena orang menonton scene itu kan ada di keseruan tembakannya. Sebenarnya musik dan tembakan jangan sampai terkesan sedang bertanding. Ini salah satu contoh kenapa mix (film The Matrix) ini menjadi salah satu demo sejak film ini dibuat di DVD. Karena scene ini berhasil untuk memisahkan lagu dengan tembak tembakan. Dan keduanya bisa dipisahkan dengan telinga awam. Jika kalibrasinya salah, yang satu akan lebih dominan dengan yang lain. Ada kesan balapan. Maka saya bilang bassnya mbleber”kata R.
Bagaimana untuk dialog?
Khusus mengenai dialog, R kini lebih yakin dengan kata kata yang diungkapkan pemain di film ini. Film apapun yang dia putar, baik karyanya atau film non produksinya, vokal bulat dan dinamikanya dapat.
“Mau seloud apapun semuanya masih balance. Ini magic happenned di ruang ini”. Kata R. Ananto pun setuju dengan p R. Dia mengatakan ada kelebihan lain, yakni bahwa disini L C R (channel speaker kiri, tengah dan kanan) sendiri sendiri, dimana vokal lebih keluar dan lebih fokus dengan juga adanya baffle wall ini. Kini suara bisa disajikan dengan warm dan detil. Ananto juga yakin, inilah buah setting dan tuning yang baik dari perangkat.
Jadi sudah bisa dikatakan, R telah puas dengan prosesor surroundnya ini. Untuk kedepannya, tentu prosesor ini sudah bisa mengakomodir perkembangan dalam teknologi tata suara surround yang bakal ada, karena ini adalah prosesor berbasis komputer, sehingga mudah untuk melakukan update teknologi baru.
Ada sesuatu yang kira kira ingin didapatkan R di masa depan?
“Untuk sementara ini cukup Tetapi Trinnov in kan ada 32 channel. Kedepannya? Masih secret. Nanti tentu ada part 3-nya. Dan kalau mau diceritakan lengkap, mungkin ceritanya bisa makan 6 bab”kata R, mengakhiri obrolan kami.