kontak

whathifi.id – Hendra Yoga adalah salah satu pehobi audio yang gemar bereksplorasi. Dari sejak dia mulai memakai ruangannya yang kini dipakainya ini, dia rajin mengupayakan bagaimana agar tidak saja tampilan perangkatnya kian mempesona telinga seperti dengan mensettingnya dengan baik, menata letak speaker sampai dapat titik optimumnya, juga mengkombinasi perangkatnya agar matching. Dia juga memperbaiki keakustikan ruangan agar dapat mendukung kesan dengar yang lebih baik dari sistem stereonya.

Hendra Yoga menjadi salah satu pehobi yang kami kunjungi saat kami, IHEAC (Indonesia High End Audio Club)- melakukan safari tour ke Jawa Tengah, dalam hal ini di Solo, tanggal 29 – 30 Nopember 2022. Hendra memakai speaker ProAc Response 3.8 yang didukung dengan power amplifier VTL. Dia punya beberapa pemutar piringan hitam(turntable), seperti ketika kami datang, dia memakai turntable Technics dan Thorens.

Dia punya beberapa turntable lain yang rata rata memang turntable yang desainnya sederhana, tetapi merupakan model model legendaris di jamannya. Sebagian dari turntable lainnya ini kini tengah dia perbaiki. Hendra juga termasuk pehobi yang gemar kutak-katik turntable, termasuk berusaha mereparasinya. Dia juga pehobi yang gemar mengoleksi piringan hitam yang rata-rata dibelinya bila kebetulan melakukan perjalanan.

Menengok sistem
Masuk ke dalam ruangan audionya, terlihatlah sebuah sistem yang nyaris semuanya adalah produk keluaran lama dan diakui Hendra berharga murah-meriah.Mengapa dia pilih yang tidak mahal, seperti lebih karena Hendra yakin, bahwa untuk mendapatkan suara yang baik, tidak harus mahal. Boleh kami sebutkan apa saja,seperti di bawah ini.
Source atau player : CD Transport Teac dan Esoteric
Turntable Technics SL 1200 MK 2+ Hana ML dan Thorens TD 124 MK2 dan SME V plus Miyajima Kansui
Phono stage : Audio Supply Tube dan Einstein Solid State.
DAC Altis Ultima tube,
Preamplifier Manley Reference 300B dan Western electric
Power amplifier VTL 90 300B Western Electric
Power cord Marigo dan Cardas
Interkonek : Kimber Select, Luna, YBA
Kabel speaker : Auditorium 23 Biwire

Sekilas performa sistem
Ruangan ini tidak seberapa besar, tetapi cukuplah untuk speaker seukuran Pro Ac Response bisa bernafas dengan leluasa.Bahkan ketika Hendra memutarkan lagu dari genre berbeda, misalnya Child in Time-nya Deep Purple, Come Away With Me-nya Norah Jones, hingga Kroncong Moritsko-nya Nuning dari album Bengawan Solo, dan beberapa album jazz serta Tammy Wynette, kami merasakan kenikmatan mendengar musik yang tampil seimbang, punya point to point imaging yang jelas, membuat kami bisa menangkap dengan mudah posisi pemain. Juga speaker bermain akurat, membuat reproduksi instrument sesuai ukuran bunyinya. Timing mainnya pun pas. Sistemnya kami yakin sudah padu-padan (matching) benar.

Hendra saat berbincang dengan Dhani Chairil

Suaranya kami dapati bukanlah suara yang terasakan rapi. Dan ternyata Hendra memang termasuk pehobi yang lebih suka akan suara yang sedikit ‘kotor’. Mengapa?
“Lebih terasa sumringah”jawabnya.
Ternyata maksud kalimatnya diatas adalah, dengan sedikit kotor, tidak terasa membosankan. Jadi ada gregetnya.
“Menurut saya, jika dengar sistem yang bikin ngantuk, bagi saja kurang oke. Sebuah sistem stereo sebaiknya bisa membuat kita makin segar dan bergairah”katanya.

Kami melihat koleksi piringan hitam bergenre orkestra yang cukup banyak di sistemnya. Tetapi saat kunjungan, tak satupun yang dia putarkan kepada kami. Ternyata dia berpendapat, kami termasuk pehobi yang suka akan vokal, sehingga dia lebih mengutamakan album album yang ada vokalnya. Bahkan kemudian Hendra memutarkan Child in Time-nya Deep Purple. Hendra malah memutar album ini di dua turntable berbeda, yakni yang Technics dan yang Thorens. Sebenarnya yang Thorens sedang bermasalah, tetapi ada dari kami yang malah lebih suka. Sementara, yang kurang menyukai, termasuk pak Hendra, karena suaranya terasa kurang benar dan kaku, walau terasa rapi dan lebih kontrol. Technics lebih disukai karena ada harmoniknya dan ada hawa.
Hal menarik lain, kami melihat sebuah penataan akustik yang sederhana tetapi terbilang sudah mapan. Nah, kami jadi tertarik bicara tentang akustik ruang ini.

Memakai Armstrong
Saat pertama kali membangun ruang audionya ini, Hendra harus berhadapan dengan dua hal yang bisa saja merupakan momok baginya karena sempat mengganggu ruangannya ini. Satu, room mode ruangannya jelek sekali, yang membuat misalnya bass – jadi tidak pernah bisa bulat.

Hendra memakai bahan akustik Armstrong untuk dinding ruangannya

Ini membuat suaranya jadi boomy kemana-mana. Kedua, flutter. Apa efek flutter ini? Salah satunya misalnya, bila ada dua orang mengobrol di ruang ini, suaranya terdengar seperti yang tengah mengobrol itu ada 4 atau 6 orang. Hendra sempat memakai bahan bahan tertentu untuk keakustikan ruangannya. Hendra sempat tertarik akan LEDE (lead end death end) dan ingin mencoba meniru konsep ini. Ternyata di ruangannya ini, konsep LEDE tidak bekerja. Dia sempat terinspirasi oleh Tjandra Ghozalli yang mengatakan bahwa ruangan itu setengahnya harus mati. Pantulan atau serapan tidak boleh terlalu berlebihan. Dia ingin menerapkannya, tetapi dengan bahan apa? Apakah ini berarti mematikan setengah ruangan? Dari sini dia dapatkan banyak hal. Misalnya, dia dapati, ternyata pantulan suara itu tidak hanya mengganggu reproduksi suara, musikalitasnya pun bisa rusak. Ini karena belum habis suara pantulan pertama, sudah ditabrak sama pantulan berkutnya.

Dua tahun Hendra bergelut dengan masalah ini. Dan terpecahkan ketika dia memasang panel akustik bernama Armstrong. Panel akustik ini terbilang murah meriah. Di awal saat akan memakainya, tentu saja dia masih ragu apakah bisa menaikkan kesan dengar suara. Awalnya dia tidak berani memakaikannya ke semua permukaan ruang, karena takut suaranya akan mati.
Inilah salah satu sisi menarik dari ruangan audio Hendra.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here