
Di era tahun 70-80an, Altec Lansing menjadi salah satu merk yang banyak digunakan di studio rekaman sebagai speaker monitor. Menurut data terlansir, di tahun 70 an itu, speaker Altec dipakai di 540 studio dunia sementara JBL sebanyak 250 studio. Nama Altec memang jawaranya untuk studio monitor speaker. Salah satu model speaker Altec Lansing, monitor Reference, pernah kami jumpai beberapa tahun lalu di rumah Rudy Gunawan, Yogyakarta. Rudy mengakui pernah membeli speaker ini seharga 5 juta rupiah dari seorang pehobi audio. Insting ‘DIY’nya pun melecutnya untuk memodifikasi speaker ini.
Ini adalah speaker legend dan cukup banyak dicari orang, dan menyebabkan harganya terbilang tinggi. Sebut saja misalnya di Jepang. Menurut Rudy, walau rata rata orang Jepang suka akan speaker kecil karena mereka umumnya tidak memiliki ruangan besar untuk audio, mereka punya selera seni musik yang tinggi, salah satunya adalah mereka gemar sajian audio yang hidup, megah atau lifesize. Misalnya, suara piano harus megah atau grand. Itulah yang menurut Rudy membuat mereka senang speaker besar misalnya seperti Tannoy.
“Tannoy Prestige, Cantenbury, laku keras disana. Memang Tannoy membuat tipe ini lebih untuk orang Asia”katanya.
Speaker Altec Lansing Monitor yang ada di rumah Rudi ini mirip dengan Tannoy Cantenburry. Kabinetnya nyaris sama besar dengan bentuk yang hampir sama. Sama sama memakai woofer 15 inci. Tweeternya pun sama-sama koaksial. Hanya saja, jika Tannoy menerapkan konsep Dual Concentrix, Altec memakai konsep Altec Duplex.
Jika anda pernah mendengar rekaman rekaman dari studio di Amerika dan Eropa seperti dari studio terkenal Three Blin Mice dan Audiolab, pada tahun 70-an studio ini memakai speaker speaker monitor keluarn Altec Lansing. Jadi kalau anda ingin melihat bagaimana karakter speaker Altec, ya silahkan saja dengar rekaman kedua studio tersebut yang dibuat pada sekitar tahun itu. Waktu itu sebut saja model yang sering digunakan adalah Altec 604E, lalu 605B, dimana keduanya sama sama makai driver 15 inci.
Selain untuk studio, speaker speaker Altec juga banyak digunakan untuk auditorium, restoran dan rumah. Model Monitor yang ada di rumah Rudi ini pun adalah speaker legend itu.
Speaker ini sangat berat. Bobotnya bisa mencapai 60 kilogram per speakernya. Dapat kami bayangkan betapa sulitnya mengangkat kedua speaker ini ke ruang dengar Rudy yang berada di lantai atas rumahnya. Selain kabinet yang berukuran besar dengan jenis kayu yang padat, speaker ini juga dibuat berat dari magnet drivernya yang besar.
Ketika Rudy beli, kedua tweeter speaker ini tidak hidup. Ternyata penyebabnya sepele, karena kabel ke terminalnya putus. Tweeter Altec ini menyatu dengan woofernya, dan Rudy rencananya ingin membuatkan sebuah horn besar. Rudy tahu betul, untuk tampil optimal, speaker ini butuh amplifier sembarangan.
“Speaker ini memang rada unik. Butuh amplifier yang karakternya detil dan transparan untuk membuat high-nya bisa extend. asalan. Frekuensi highnya agak roll off. Di 16 kilo Hz dia cenderung turun”kata Rudi.
Setelah berkonsultasi dengan seorang seniornya di bidang audio, Rudi pun memasangkan speakernya ini dengan amplifier single ended. Tetapi ternyata dia belum puas akan hasil suara yang didapat. Malah dipasangkan dengan amplifier push pull suaranya lebih baik, dimana high-nya lebih keluar dan tidak ada layer layer.
Dia pun aktif browsing di internet untuk mencari driver yang sesuai dengan spesifikasi yang pas untuk speakernya ini. Ketemulah dia dengan driver Goto. Goto yang ternyata merupakan nama seorang audiophile Jepang, San Goto yang gemar bermain driver kompresi dengan beberapa corong yang berbeda untuk dapat memainan dari sekian kilo Hz ke beberapa kilo Hz atau kHz lainnya. Bahkan corong yang dapat bermain di 200 Hx pun dia bisa buat. Hanya saja akan membuat bobot speakernya berat, bahkan bisa hingga 50 kilogram. Membran frekuensinya pun bisa hingga 10 sentimeter. Hornnya memang sangat besar. Speaker dengan corong seperti ini rata rata digunakan untuk ruang auditorium.Demikianlah, Rudi menemukan driver di goto driver ini, yang memang rata rata tidak mudah didrive oleh amplifier sembarangan.
Menurutnya, ini sebenarnya adalah speaker pro tetapi didesain untuk digunakan juga di dalam rumah. Ah, apa bisa maksimal? Menurutnya bisa. Speaker speaker pro jaman dahulu menurutnya dapat bermain di keduanya karena yang dikejar adalah efisiensi dan dinamika suara. Speaker pro memang tinggi dalam hal efisiensinya. Tetapi menurutnya, speaker speaker pro kini sulit bila digunakan di dalam rumah, karena yang dikejar speaker ini adalah power handling, yakni bagaimana agar tembakan suara bisa jauh, sama halnya seperti di lapangan, dimana power handlingnya harus tinggi.
Mendengarkan speaker besar dengan driver besar seperti ini, kami jadi berharap lebih untuk dapat menikmati bass yang deep. Memang sudah kami dapatkan. Menurut Rudy, kalau orang yang tak suka, mid bassnya akan terasakan kurang. Menurut Rudi dia sudah menempatkan speaker ini pada posisi yang maksimal di ruang ini. Jika dimundurkan sedikit saja, menurutnya bass akan habis
Kami lihat di sistem ini Rudi tidak memakai pre amplifier. Hanya sebuah power. Power buatan Rudy yang ‘tanpa nama’ yang berkonsep push pull Class A dengan rangkaian yang sederhana. Rudy sempat menyebut kata ‘le monstre’ untuk powernya ini.
“Desain rangkaiannya simple, masuk diferensial lalu langsung final. Jadi hanya dua stage”jelas Rudi.
Disela menikmati ini Rudy sempat mengatakan bahwa ini sebenarnya adalah speaker pro tetapi didesain untuk digunakan juga di dalam rumah. Ah, apa bisa maksimal? Menurutnya bisa. Speaker speaker pro jaman dahulu menurutnya dapat bermain di keduanya karena yang dikejar adalah efisiensi dan dinamika suara. Speaker pro memang tinggi dalam hal efisiensinya. Tetapi menurutnya, speaker speaker pro kini sulit bila digunakan di dalam rumah, karena yang dikejar speaker ini adalah power handling, yakni bagaimana agar tembakan suara bisa jauh, sama halnya seperti di lapangan, dimana power handlingnya harus tinggi.
Inilah kenangan kami saat bertandang ke rumah Rudy di sebuah kawasan di dekat kawasan Malioboro, Yogya. Mendengarkan speaker besar memang nikmat. Seringkali bahkan kalau sudah mendengar speaker sebesar ini, rada malas juga bila kemudian diajak mendengar speaker kecil.