kontak
Oleh : Stephen (member IHEAC)
Pandangan pertama

Pada suatu ketika, saya dan beberapa teman yang lain diminta mereview beberapa power amp untuk ditulis di sebuah media cetak. Memang pada saat itu kita melakukannya dengan open test, dimana kita lihat barang yang ditest (lawannya blind test).

Dari sekian power amp, ada 4 transistor amplifier dan 1 tube amplifier. Setelah kita mencoba mereview dengan fair, akhirnya kita semua setuju dengan sebuah transistor amp yang menurut kita terbaik, malah bukan yang tube amp. Memang kita semua penggemar suara tube, akan tetapi test kali ini tube amp yang kita review suaranya kurang pas ditelinga.

Karena kita sudah pernah mereview sebelumnya, akhirnya kita setuju untuk mengganti panelisnya (reviewer) dengan teman teman yang lain, supaya jangan dikira kita kita melulu. Akhirnya ditetapkan hari lain untuk mereview ulang, dan kita ajak teman teman yang lain untuk mereview, dengan metode yang sama, open test.

Setelah selesai, kita lihat hasil reviewnya berbeda 180 derajat. Tim yang ke dua ini semua menjagokan tube amp yang menurut kita suaranya kurang baik.  Memang sebelum test berlangsung, ada beberapa komentar yang antara lain bunyinya “wah kalo saya sih nggak bisa dengar suara transistor”, lalu ada yang mengatakan “Saya sih nggak usah denger, pasti yang tube amp yang menang”, dan sebagainya.

Kita-kita  (di tim yang pertama ini) senyum-senyum saja pada saat membaca hasil review. Memang salahnya kita tidak lakukan blind test, sehingga orang bisa terkecoh dengan apa yang dilihat, hehehe.

Berapa sering kita terkecoh dengan pandangan pertama? Berapa banyak dari kita / teman kita yang begitu melihat produk buatan dari negara tertentu sudah antipati? “Wah kalo barang buatan dari negara anu, saya jamin suaranya ……”, “Kalau kabel dari bahan anu, suaranya pasti…”,  “Kalau speaker merek ini, suaranya pasti…..”, “Wah kalau barang dengan harga segini, pastilah……”.  Padahal belum didengar, sudah seperti dukun  saja.

Berapa sering kita mendengar komentar teman-teman kita seperti itu, dan kalau itu ditujukan kepada barang kita, wah urusan bisa jadi panjang, ya nggak? Akhirnya teman kita jadi juru ramal, belum juga didengar sudah divonis. Kalaupun tidak, karena sudah terpatri di memory, walaupun dilakukan A/B test (kecuali blind test), hasil reviewnya tetap tidak akurat, betul ya?

Saran saya, jangan berprasangka dulu (baik/buruk) sebelum anda dengarkan dengan seksama. Percayakan kepada telinga anda, karena telinga anda sudah dilatih suara analog yang asli dari sumbernya setiap hari, seperti bunyi pintu ditutup, bunyi mesin mobil, bunyi air hujan, suara orang bicara, dan sebaganya. Bukankah itu yang anda coba reproduksi dari sound system high end anda? Bahkan kita dulu punya piringan hitam yang isinya rekaman suara kereta api, helikopter, motor, dan lain lain. Benar-benar seperti  orang kurang kerjaan.

Pandangan pertama juga dilakukan teman kita dalam menganalisa akustik ruangan kita. Cuma lihat  foto teman kita sudah bisa memberikan analisa akustik ruang orang lain, karena merasa kelasnya sudah suhu high end?. Yang tadinya teman,  jadi  musuhan. Jadi lebih baik tidak usah upload foto di WA group, tidak usah undang orang mampir, selama yang punya sudah happy, mau  apa  lagi, minta di endorse kalau sistemnya high  end?

Lukisan Affandi

Saya yakin kita semua pernah mendengar pelukis terkenal dari Indonesia bernama Affandi, dan mungkin anda pernah melihat hasil lukisannya. Terus terang saya bukan penggemar lukisan, dan saya tidak tahu apa-apa tentang lukisan. Bagi yang belum pernah melihat gaya lukisan Affandi, sangat abstrak. Nah, coba bayangkan anda membeli lukisan mawar dari Affandi. Karena warna mawarnya tidak seperti yang anda tahu, dan bentuk mawarnya tidak beraturan, maka anda pergi ke toko buku dan membeli cat minyak yang termahal, yang terbaik dan termerah (seperti warna mawar yang anda tahu).

Sesampainya dirumah, lukisan Affandi tersebut anda tusir, anda rapikan gambar mawarnya sehingga bentuknya lebih mirip dengan mawar aslinya, warnanya pun anda cat ulang  supaya seperti warna mawar yang anda tahu, hehehe. Hasilnya mungkin memang lebih mirip dengan mawar, tapi sudah bukan lukisan Affandi lagi, tapi lukisan Affandi yang sudah diupgrade, betul ya?

Kira-kira kalau dijual lagi harganya berapa ya? Kalau anda memang mau gambar mawar yang real, kenapa tidak ambil kamera, anda foto bunga mawar aja? Atau sekalian anda beli bunga mawar, taruh diatas meja kerja anda untuk anda pandangi setiap hari, bagaimana? Atau memang anda sengaja beli lukisan dari pinggir jalan, kemudian anda tusir biar jadi lukisan Piccaso, (menurut versi anda),

Nah, apa kaitannya dengan hobby ini? Pernahkah anda mendengar teman anda berkata “CD player saya sudah saya ganti (ganti komponennya),  boleh adu ama punya kamu punya, “Preamp saya sudah saya ganti (menyebut komponennya), dengan yang paling mahal, boleh adu ama kamu punya yang jauh lebih mahal….”.   Nah, teman teman, kita kadang kadang lebih pinter dari pembuatnya / designernya. Kalau memang demikian, coba saja teman kita suruh buat ampli atau apapun yang dia bisa, dan coba pasarkan secara international, kita lihat hasilnya, bagaimana?

Saya kenal seorang yang mempunyai sebuah ampli legendaris yang dipasarkan di tahun 1970an, dan pada saat dibuka, ternyata isinya semua komponen murah. Dia mulai kreatif dengan mengganti komponen yang lebih mahal. Hasilnya?, anda tahu sendiri, seperti nasi padang ditambahin kecap manis, hehehe…..

Memang main audio high end serunya disini, tapi bisa jadi keblinger. Saya kebetulan kenal baik dengan orang yang sudah 40 tahun lebih di hobby ini, Bapak. Kusnadi Pangestu. Beliau paling anti kalau barangnya di upgrade, dia bilang kalau kamu sudah tidak suka suaranya, jual saja, beli lagi yang kamu suka.

Tapi namanya juga hobby, barang sendiri, uang sendiri, anda mau tambah kecap, tambah garem, biar pas, suka-suka deh, Cuma saran saya lebih baik kita dengar musik dari pada jadi kritikus, kecuali memang benar benar tidak enak didengar(nah, kenapa dulu anda beli?), di lem biru aja (lempar beli baru) hehehe….

Pohon / bunga Anthorium

Apakah anda pernah dengar bunga anthorium? Terus terang saya bukan penggemar bunga, dan saya tidak tahu apa-apa tentang bunga, tetapi kalau tidak salah, awalnya namanya tidak  popular. Akan tetapi saat naik daun, kalau anda tanya harga anthorium, bisa jadi lebih mahal dari emas. Apakah ini hanya terjadi di Indonesia, atau phenomena di seluruh dunia, saya juga tidak tahu.

Menurut hukum ekonomi, kalau suplainya terbatas tetapi permintaan banyak, harga akan naik, dan ini dapat dilihat dari barang-barang seperti emas, berlian dan sebagainya. Nah, kalau bunga ini, apa yang menyebabkan harganya melonjak tinggi sekali? Apakah ada permintaan yang tinggi sekali? Apakah ada khasiat tertentu? Apakah bunga ini susah untuk dikembang biakan, sehingga jumlahnya yang bisa hidup sedikit sekali? Terus terang saya tidak tahu, dan ini hanya tebakan saya saja. Mohon dimaafkan kalau saya salah, bahwa apakah mungkin ini hanya (dalam istilah di pasar saham) di “goreng” oleh pihak pihak tertentu saja?

Apakah anda pernah membaca review sebuah produk dari majalah luar negeri yang hasilnya luar biasa bagus, tetapi setelah anda dengar sendiri barangnya, ternyata tidak seperti hasil reviewnya? Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah mungkin ini dalam rangka di “goreng”? Mungkin saja saya salah, cuman dalam hal ini harganya tidak melonjak gila-gilaan.

Kebetulan saya kenal seorang designer speaker kelas dunia, yang harga speakernya mulai dengan 9 digit (dalam rupiah). Pada saat Iheac Show, saya mendapat kesempatan untuk berbincang, dan saya tanyakan kenapa speakernya tidak pernah ada reviewnya di majalah luar negeri yang cukup terkenal itu.  Alasan dia, karena speaker kalau dipinjamkan untuk direview, tidak kembali, belum lagi musti setoran. Kaya preman saja, hehehe. Ternyata di luar negeri juga ada pungli, bukan cuma di Indonesia saja. Sehingga menurut dia, hasil review disesuaikan dengan uang setorannya, plus produknya, payah deh. Memang tidak bisa di generalisir.

Jadi saran saya kalau anda membaca review produk dari majalah manapun, sebaiknya anda teliti dulu, anda dengarkan dengan seksama, kalau bisa dengan sistem yang anda punya. Bila mungkin anda ajak beberapa teman main anda untuk mendengarkan bersama, dan yang paling penting, percayakan pada telinga anda yang sudah dilatih puluhan tahun untuk mendengar suara analog langsung dari sumbernya, betul ya?

Tulisan ini saya tulis pada saat sebelum harga bunga anthorium hancur seperti sekarang ini, Dan ternyata tebakan saya benar, Cuma ‘digoreng’ saja.

Benar dan Jujur

Sering kali kita baca di WA group,  teman kita bilang, ruangan harus benar,  sistem  harus benar, rekaman harus benar, entah  apa lagi yang harus benar. Memang ruangan yang salah seperti  apa, semua salah kecuali ruangan dia yang benar? Memang ruangan yang benar seperti apa, sistem  yang  benar seperti apa, rekaman  yang benar seperti  apa. Memang siapa dia bisa bilang salah benar, professor high end? Kan ini bukan matematik.

Suara harus jujur, memang suara yang bohong  seperti apa, merasa dirinya suhu, dia bikin  standar sendiri dan  semua orang harus ikutin ? Saya sudah bahas bahwa kuping kita tidak ada yang sama, yang teman kita dengar tidak sama dengan yang  kita dengar.

Sistem harus pakai alat ini,  alat itu,  kalau tidak ya cuma BGM (background music). Memang kalau cuma BGM kenapa? Memang harus lulus ujian dapat sertifikat highend? Kita beli sound system buat kuping teman kita atau kuping kita?

Tonal balance harus benar, memang yang benar seperti apa, siapa diantara kita yang pernah dengar Frank Sinatra atau siapapun penyanyi favorit anda, nyanyi live tanpa pengeras suara? Kalau tidak  bagaimana kita tahu salah benar suara repronya?

Review system lewat HP

Teman kita memang canggih-canggih. Ada yang bisa review sistem lewat HP, padahal kalo kamera ke arah sistem kita, micnya ke samping kanan, bener ya? Sistem kita direkam dari  mic HP, direpro ulang dari speaker HP, jadi kita denger system  HP atau sistem high end anda?

Penutup

Pada akhirnya, semuanya terserah anda, boleh setuju, boleh tidak, lagi pula inikan cuma saran

Stephen (IHEAC)

 

IHEAC : Indonesia High End Audio Club

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here