whathifi.id – Ingat nama Polytron umumnya orang akan ingat akan Bazzoke di tahun 90-an. Saat itu Polytron dengan komponya bisa menghadirkan bass yang tampil ‘sangar’, menggelegar dengan harga yang affordable, dan terus dijaganya hingga kini. Polytron juga dikenal akan TV dan elektronik lain dan bangga sebagai produk nasional yang berkualitas baik. Di banyak lini produk, khususnya audio, Polytron memang lebih mengarah ke produk yang affordable consumer, walau kini terlihat mulai bermain di produk audio kelas hifi, seperti ketika melahirkan audivo PHS 6A.
Melihat spesifikasi
Redaksi berkesempatan menguji dengar speaker ini. Ini adalah speaker aktif 2-way yang dilengkapi Bi amplifier kelas D lengkap dengan DSP (pemroses sinyal digital). Power outputnya diklaim bermain di 180 Watt Rms. Bentuk dan ukurannya yang 525 × 365 × 460 cm mirip seperti speaker Edifier.
Speaker ini cukup berat. Bobotnya sekitar 16 kilogram. Apa yang membuatnya berat? Tentu bukan dari trafonya karena ini adalah amplifier kelas D yang terkenal ringan. Lalu? Tentu kayu MDF yang satu lapis tebal itu. Ya, kayunya tebal, membuat speakernya berat. Dengan melihat ketebalan kayu speaker yang menambah berat ini, bisa menjadi dugaan awal tentang bagaimana bagusnya speaker bermain, khususnya karena ketahanannya terhadap getaran. Kami ketuk-ketukan jari pada boksnya, terkesan kayunya berisi, tidak terkesan tipis.
Finishing kayunya menarik mata dan dibuat dengan rapi, cukup mengesankan speaker yang harganya diatas kelas harganya. Dalam hal konstruksi, terkesan sangat kokoh, dengan bentuk depan dan sampingnya dibuat melandai (tidak kotak), yang tentu merupakan siasat untuk sebuah resonansi yang mendukung. Sisi alas speaker dilengkapi konsep redaman dan pemisahan getaran yang datang dari permukaan dimana dia berdiri.
PHS 6A memakai woofer 5.5 inci dan tweeter soft dome 1 inci. Dari sepasang speaker ini, salah satunya berperan sebagai masternya dimana ada pusat kontrol, input output dan amplifier di dalamnya. Satunya lagi sebagai ‘slave’nya. Keduanya terhubung melalui kabel balance(disediakan). Dibelakang badan speaker master tadi, ada satu sakelar power on off, kontrol bass dan treble, juga sebuah kontrol volume dimana sakelar volumenya yang digital volume, kita bisa putar terus tanpa ada limitnya. Di jalur koneksi, dia ada Bluetooth plus Polytron Audio Connect. Kita bisa mainkan lagu via USB, juga koneksi Aux, Line dan Optical Input. Terakhir, speaker dilengkapi sebuah remote control kecil disitu, mirip dengan remote pemutar DVD biasa
Ke Fabie Audio
Awalnya kami uji coba langsung dengan pemutar digital portable Astell & Kern (A&K) SE 100, langsung melalui Bluetooth. iPad-nya Apple, dan juga smartphone Galaxy M51 (dimana ada aplikasi radio digital bersuara sebening CD, Classic Network). Ya, inilah konsep ‘just add player’. Tak perlu amplifier lagi dan tak perlu main tarik tarik kabel jika anda mau(kecuali jika memilih koneksi analog dengan kabel RCA) – karena ada koneksi Bluetooth dan USB. USB musiknya bisa memainkan audio hi res Flac WAV yang diklaim hingga di 48 kHz 32 bit. Ini tentu hal menarik tersendiri terkait resolusi suara, walau tentu saja bagaimana kesan dengar lagu utamanya berpulang kembali kepada kualitas rekaman dan bagaimana hasil ripping filenya. Selebihnya, lebih kepada faktor keakustikan ruang dan bagaimana kami mensetting layout speaker saja tentu.
Kami juga bawa speaker ini ke ruang galeri audio rumahan, Fabie Audio Art di kawasan Halim, Jakarta. Seperti anda bisa lihat di foto di bawah ini, ruang ini cukup banyak diisi oleh perangkat stereo audio, dalam sebuah tim yang membentuk sistem streaming audio. Di sistem ini ada network player digital buatan Fabie yang kabarnya diracik menggunakan dua software yakni roon dan volumio. Roon sebagai manajemen playernya. Volumio sebagai digital interface. Network Player ini bisa menjalankan juga streaming audio Qobuz dan Tidal.
Jalur koneksinya, pertama sebagai source-nya adalah hard disk dan NAS. Masuk ke network player digital (Fabie menyebutnya sebagai exclusive audio network player) karena didampingi EATX linier power supply terpisah. Dari sini, alirannya masuk ke DAC lalu ke pre amplifier sebelum kemudian melaju ke speaker aktif Polytron ini. Jadi untuk ini tak perlu lagi memakai power amplifier yang kami lihat disitu.
Pengujian
Saat pengujian, kami copot gril speaker yang bermagnet dan didesain dengan cukup indah. Mungkin percaya dengan pendapat yang mengatakan bahwa tanpa gril, suara lebih open. Di ruang Fabie Audio Art yang juga telah ditreatmen akustik ni kami letakkan speaker sekitar satu setengah meter dari dinding belakang dan dari dinding samping. Kami juga sedikit memiringkannya ke posisi dengar untuk dapat memfokuskan stereo image.
Kami putarkan Jazz Group Live dari 2xHD, yang memang merupakan rekaman audiophile dari pemutar di atas. Selebihnya, melalui perangkat streaming yang ada di ruang ini dengan memakai kabel speaker ke terminal analog, dimana lalu kami banyak memutar Jazz at The Pawnshop – di track High Life dan lalu Take Five. Lalu banyak memutar album Chen Ning di albumnya Long Time Not See. Kami pasang setelan bass dan treble pada posisi flat (ditengah garis switch putarnya).
Kami suka pada bagaimana dia menampilkan stereo imagingnya yang kami rasakan menarik, menyajikan instrument dengan cukup presisi. Cenderung bermain rapi. Midrangenya terbilang transparan. Saat dengan Bluetooth suaranya kalah indah dibandingkan bila memakai kabel dengan memanfaatkan sistem audio berstreaming dari Fabi ini.
PHS 6A merespon dengan suara berskala besar yang penuh dengan kekuatan tetapi dengan tetap terasa halus. Speaker ini punya energi beroktan tinggi untuk rekaman yang berhaluan dinamis, dan tak terasa memekakan telinga saat memainkan instrumen seperti terompet yang ditiup dengan sangat kencang pada volume tinggi. Di rekaman jazz ini, lentingan keras instrumen tidak terdengar kasar, dan dengar sistem dengan volume besar dia tak berantakan. Di volume kecil, tetap terasa detil dan background musik terlihat.
Untuk main berayun-ayun, dia tak seberapa istimewa. Sepertinya lebih antusias pada yang kencang. Tetapi kami dapati dia terampil dalam menyajikan pukulan, dengan menampilkannya apa adanya. Termasuk pintar juga dalam menyajikan detil. Mampu menampilkan lapisan informasi, dengan tekstur-tekstur di lapisan rekaman.
Speaker ini pun kami rasa termasuk akurat. Salah satunya terlihat saat kami coba coba berbagai elemen akustik tuning yang kami tambahkan ke speaker, dimana antara memakai dan tidak – kesan suaranya memperlihatkan perbedaan. Artinya kita bisa pakai speaker ini untuk melihat perubahan yang terjadi bila ada elemen akustik baru masuk kepadanya atau ke ruangan.
Kontrolnya bagus, termasuk di bassnya. Tentu tak bisa dilupakan peran woofer yang cukup kuat mendukung bass yang berbobot dan punya artikulasi menarik. Dan dari info di spesifikasi, dia didukung dengan aluminium frame die-casting kokoh, yang diklaim Polytron mendukung artikulasi bass yang jelas. Untuk tweeter 1 inchnya, cukup memberikan tampilan mid tampil alami saja dan tidak terasa metalik. Keduanya memang bekerja independen tetapi bisa berpadu untuk suara yang koheren. Disinilah letaknya bagaimana tangan dinginnya sang designer dan para QC-man dari Kudus itu.
Kalau saja Polytron tahu cara bikin marketnya untuk speaker ini, harusnya banyak yang menyukainya, khususnya para ‘newbie’ yang baru nyemplung ke dunia hobi stereo audio atau hifi. Dengan modal tak terlalu besar, dia sudah punya speaker berdisain bagus dan sudah bisa nirkabel.
Satu catatan kecil, colokan listriknya belum yang IEC yang lebih berkelas.Remote control pun akan lebih menarik bila didesain dengan gaya tertentu walau terbuat dari plastic, misalnya berbentuk kotak. Tetapi dengan kembali melihat harga yang ingin diterapkan tentu ini beralasan.
Terakhir, sempat Fabi bertanya harga speaker ini. Saya katakan 2.5 juta.
“Wah, saya kira 27 (juta)”katanya. Ungkapan akan ekspektasi tampilan suara yang ternyata melebihi harganya.