
whathifi.id – Bahkan seorang audiophile pun butuh yang portabel untuk bisa menikmati musik kala mobile di luar rumah sekalipun. Apakah perangkat pemuas telinganya harus seperti kala dia menikmati musik di dalam rumah? Ternyata tidak harus. Inilah yang kami yakin ingin dibisikkan oleh Sennheiser dengan merilis headphone in ear IE 200, yang datang ke redaksi di akhir Maret 2023 ini.

Nama Sennheiser sendiri tentu sudah akrab di telinga kita. Pemain asal Jerman ini tercatat sudah 75 tahun malang melintang dalam di dunia audio dan kini kabarnya dimiliki oleh perusahaan grupnya Swiss Sonova. Anda mungkin kenal model lain dari Sennheiser sebelumnya, misalnya in ear seri IE dan headphone Momentum True Wireless, juga model IEM dan TWS. Atau pernah menikmati model headphone top Sennheiser seperti HD 800, HD 660S, HD 650 dan HD 660S, juga HD 560. IE 200 diluncurkan distributor tunggalnya di Indonesia, PT Inti Omega Teknikindo. Inilah in-ear yang memakail kabel dan punya tekologi True Response Transducer, dengan transduser ultra-wideband 7 milimeter.
Berikut adalah spesifikasinya :
Format: IEM Driver: 1 x 7mm TrueResponse dynamic drivers Impedansi (Ohm): 18 ohm Sensitivitas (dB): 119 dB/V (101 dB/mW) Frequency Response (Hz): 6 Hz – 20 kHz Total Harmonic Distortion (THD): <0.08% Removable Cable: Ya Jek sumber: 3.5mm Jek cup/shell : mmcx Berat: 4g (per earpiece, tanpa tips)

Dibuat ringan
Kami rasakan boksnya lebih ringan dibanding banyak boks in ear headphone sekelasnya. Begitu kami keluarkan unitnya, ya keseluruhannya memang ringan. Kabelnya sangat ringan. Earbudnya pun hanya seberat 4 gram. Bisa jadi karena housingnya memakai bahan plastic. Bahan plastic sedikit membuat tampilannya kurang terkesan mahal. Ya memang bukan yang termasuk mahal karena ada di kisaran 2 jutaan Rupiah. Tetapi kadang, audiophile memang tidak terlalu mementingkan bentuk dan kesan lihat. Hanya mau mendewa-dewakan suara. Mereka ingin menikmati kemurnian (fidelity) suara murni yang memang merupakan suara asli rekaman. Secara umum, jika dikatakan produk untuk audiophile, suaranya bisa ditebak terkesan flat, alias tidak menambah-nambah karakter asli suara yang masuk kepadanya. Tidak menambah ‘gincu’ karakter suara tertentu pada rekaman. Jika aslinya bassnya tebal, ya keluarannya akan begitu. Bassnya tipis pun demikian, tanpa ada usaha untuk membuat bass lebih impresif.

Jadi, mengapa sampai disebut Sennheiser sebagai earbudnya audiophile, karena karakter suaranya lebih flat tadi dibanding model IE lainnya Sennheiser, misalnya IE 300. Artinya, suaranya lebih jujur, tidak banyak (kalau tidak mau mengatakan ‘tidak ada’) make up-an suara. Suara mengalir apa adanya sesuai sumbernya. Dan kesan ini memang terasakan, kala kami menyimak bagaimana bobot dan bersihnya lagu When Love and Hate Collide dari Deff Leppard. Ciri karakter suaranya seperti biasa kami dengar melalui sistem home audio, dengan bass yang tight, tebal dan bisa menjejak (deep). Jalinan separasinya rapi, tanpa terasa bass yang mbleber ke area treble. Jadi kesannya bening saja.
In ear ini memakai kabel MMCX sepanjang 1.2 meter yang terbuat dari bahan para-aramid (Kevlar) dengan kepala jek headphone 3.5 milimeter. Kabel ini dibraided dan kami pegang terasa halus dan sangat ringan. Ya, Kevlar ini sangat ringan, bahkan seringan tali rapia (yang dari plastik itu). Menariknya lagi, kabel MMCX para aramid ini bisa kita lepas dan ganti dengan yang baru. Sayang biaya penggantiannya (kabarnya) terbilang cukup mahal. Harga IE 200 sendiri ada di Rp 2.599.000. Saat ini IE 200 tersedia di Desound Pondok Indah Mall, desound.co.id, dan toko-toko online.
Sennheiser juga memberikan tiga pasang silicon dan tiga pasang tips memory foam. Ada model lain serupanya, yakni IE 300. Beda keduanya salah satunya di bahan protective sheath di sekitar kabel, dimana IE 200 ini tidak memilikinya.
Satu yang kembali kami selalu perlu jeli tiap kali ingin memakai earbud ini adalah menemukan mana bud kiri dan mana bud untuk telinga kanan. Di IE 200, ada tulisan kecil yang juga berwarna hitam. Tentu lebih membantu bila huruf L dan R ini disapukan dengan warna putih, atau bahkan warna keemasan. Sesuatu yang kontras, yang bisa membantu orang, apalagi yang masih awam earbud, untuk segera lebih cepat memakainya karena mudah menemukan mana kiri mana kanan.
Kenyamanan pakai dan dengar
Mari kita coba in ear ini. Dalam hal kenyamanan pakai, okelah. Tak bikin iritasi dan mudah menempel di telinga, saat kami pakai dalam 2.5 jam di perjalanan Jakarta Bandung dengan kereta api. Sekali kita gunakan, dan bud-nya mudah menempel, dia akan lebih mudah lagi bila nanti kapan akan digunakan lagi, seakan dia menyimpan memori.
Pertama kali kami cobakan dia dengan memutar lagu lagu yang 24 jam diputar di radio digital Classy NetRadio yang terpasang di smartphone Samsung Galaxy M21. Radio ini kami kenal dapat bersuara jernih dan kualitasnya sekualitas CD. Kami main di level 90 (dibawah maksimalnya), dan senang saja bila ada vokal, karena sibilansnya tidak kasar walau sedikit terasa noise. Kami uga memakai pemutar portable Astell & Kern SE 100, untuk memutar lagu berformat Flac dan WAV. Sementara itu, lagu lain adalah lagu yang lebih pas untuk music lover, yang banyak bernuansa nge-beat.
Dari Classy NetRadio kami dengar I Swear dari John Michael Montgomery. Menyiratkan kuatnya vokal John, yang mengingatkan vokalnya Kenny Rodgers. Bassnya punya authority. Untuk lagu lagu ini sepertinya menarik juga bahkan bila kita ingin mendudukan diri kita sebagai seorang music lover – bukan audiophile. Artinya, untuk casual listening pun nikmat saja. Yang kami sukai, isolasinya terbilang rapat, tidak mudah begitu saja memasukkan suara dari luar, bahkan saat kami berada di area yang cukup berisik seperti di stasiun kereta api.
Kami simak Viva Forever dari Spice Girls, terasa bassnya sangat dalam, alunan gitar renyah, vokalnya terasa sweet. Bisa secara tak sadar memunculkan pitch and rhythm yang membuat kami mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai. Bassnya menjejak, cukup deep, seolah ingin menggiring pendengarnya untuk terus terlibat di lagu ini.
Di pemutar A&K SE 100. Dengan file format Flac di 16 bit 44.1 khz. Di album The Dali CD Volume 3, ada track dari Fallulah, “The Black Cat Neighbourhood”. Track ini dapat kita gunakan untuk melihat bagaimana aliran bass dapat mengalir cepat/smooth atau tersendat. Bagaimana sistem bisa bermain cepat di attacknya tanpa terasa butek. Untuk ini, IE 200 masih terasa sopan dalam bermain di irama yang meledak ledak.
Kami simak Ricky Peterson, “Let Me Down Easy” juga Wiles Ingwersen, “Wailin Wall” keduanya dari album STS Test Demo CD1. Fokusnya di vokal dengan dilatarbelakangi beberapa instrumen. Dari beberapa kali mendengar lagu dari pemutar ini, kami berpikir bahwa ini adalah in ear monitor (IEM) berukuran kecil yang ditujukan Sennheiser untuk dapat menjembatani perbedaan antara mereka yang mengejar reproduksi suara dengan berorientasikan kepada suara yang akurat dengan yang orientasinya ke konsumer (pendengar biasa).
Secara umum karakter suaranya balanced dan alami (netral) saja tetapi punya presisi suara yang baik. Di beberapa lagu juga terlihat karakternya yang detil. Dia punya karakter yang dinamik, bila memang sumbernya adalah dinamik.Ajak saja dia saat ingin menikmati suara dinamik dan bersih yang disajikan tanpa tekanan/pressure di telinga dimana kita dengan mudahnya ‘melihat’ instrumen dengan presisi. Sekarang apa minusnya? Untuk menjawab ini kami banyak mengamati apa yang kira kira menjadi keluhan kami saat menyimaknya. Ada semacam ekspektasi untuk IE 200 lebih bisa membuat kami terlibat dalam musik yang disajikannya dengan alami itu.
Dan akhirnya, bila anda termasuk pecinta musik yang gemar untuk menganalisa bagaimana sebuah rekaman musik itu dibuat dengan mengedepankan beberapa kriteria seperti tonal balance, separasi dan akhirnya menuju ke arah bagaimana musikalnya, IE 200 termasuk salah satu yang boleh anda lirik. Tentu saja jangan dilupakan peran tangan dingin sound engineer dari rekaman itu.