kontak

Oleh : Stephen Adijuwono

Sering kali kita mendengar komentar orang / teman tentang sebuah sistem audio tertentu, yang mana kita mempunyai pendapat yang berbeda. Tidak jarang komentar tersebut ditujukan ke system audio kita, sehingga untuk sebagian orang yang tidak cukup rendah hati untuk menerima komentar (apalagi kalau komentarnya negatif), akan menjadi masalah.

“Wah system kamu nggak transparan, nggak open, treblenya nggak lepas…”kata teman kita.

Sakit hati bisa terjadi, karena komentar-komentar yang kurang enak didengar. Yang tadinya hopeng (teman akrab), sekarang bisa saja malah tidak mau kenal lagi. Yang lebih hebat lagi kalau teman kita bisa menganalisa sistem kita tanpa dia kerumah kita dan mendengarkan, hanya karena merasa tahu akan alat yang kita punya. Wah, kaya dukun saja.

Ruang stereo dan multichannel Dan Santoso

Hal ini terjadi diseluruh dunia, seorang kawan pernah mengatakan, bahwa di Singapore, klub pecinta high end audio umurnya tidak lebih dari 3 bulan. Pasalnya para anggotanya pada ‘berantem’, berdebat mengatakan bahwa sistemnya lah yang terbaik, pendapatnya yang paling benar. Mereka berkelahi karena hal yang sepele dan klubnya bubar. Menurut saya ini kurang bijaksana, padahal banyak hal yang perlu diperhatikan, yang akan saya coba bahas satu persatu:

  1. akurasi alat pendengaran
  2. ketajaman alat pendengaran
  3. kebiasaan mendengar
  4. standarisasi terminologi

Akurasi alat pendengaran

Ada hal yang selama ini tidak pernah diperhatikan, yaitu akurasi alat pendengaran kita belum tentu semua sama. Alat pendengaran kita adalah salah satu dari panca indra yang kita punya, seperti juga dengan mata untuk melihat, mulut untuk merasakan makanan dan lainnya.

Dapat kita lihat disekeliling kita bahwa yang namanya indra pengelihatan (mata) orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda terutama untuk orang yang sudah berumur. Untuk indra yang satu ini, bisa dikalibrasi dan dapat distandarkan dengan menggunakan alat yang namanya kacamata.

Ruang dengar stereo Tasindo Audio, mal Belleza Permata Hijau.

Ada orang yang menggunakan kacamata minus, ada yang plus dan kombinasinya dengan silindris, dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Apa yang membuat anda berpikir bahwa kemampuan telinga kita semua sama, hanya karena telinga kita tidak pernah dikalibrasi dan memakai ‘kaca mata’ (alat bantu) untuk pedengaran, kecuali memang betul-betul tidak bisa dengar.

Maka kalau ada orang berkomentar bahwa sistem audio anda treblenya kurang ngeces, sementara menurut anda sudah cukup, berarti mungkin saja kuping teman anda sudah kurang sempurna. Disini anda tidak perlu sakit hatilah. Bahasa gaulnya, anggap saja teman anda kurang beres pendengarannya.

Ketajaman alat pendengaran

Sering kali kita dihadapkan pada keadaan untuk membedakan sebuah equipment (alat), misalnya kabel. Misalnya teman kita membawa sebuah preamp (atau mungkin yang lain misalnya power, kabel atau apa saja), dan dites dirumah kita. Untuk dibandingkan dengan yang kita punya. Setelah beberapa saat A / B test, kita belum bisa mendengarkan perbedaannya, diperparah pada saat kita sedang menyimak, teman kita ngoceh terus tentang betapa bagusnya yang dia punya, dengan segala terminologi high endnya.

“Nah ini kamu denger, punya saya lebih transparant kan? punya kamu sih maaf saja, tidak open. Vokal preampnya saya juga lebih fokus kan ya” kata teman kita. Obrolan ini bisa saja terjadi, dimana kita bukannya diajak mendengarkan perbedaannya, tetapi malah mendengarkan komentar dia yang tidak putus-putus,  padahal kita sedang setengah mati mencari perbedaannya, ditambah mencoba mengerti istilah-istilah yang dikatakan teman kita.

Jadi, apanya yang fokus?. Anda tentu pernah mendengar pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya”. Nah,  jangan-jangan teman kita ini lebih nyaring bunyinya dari tong kosong.

Pernahkah  anda mengalami hal demikian? Jika iya, berarti anda tidak sendirian. Saran saya, percaya saja pada telinga anda. Kalau anda tidak bisa mendengarkan bedanya, ya tak  usah malu. Bilang saja tidak ada bedanya, bila mungkin memang tak berbeda. Bila memang demikian, kemungkinan besar teman anda ini tengah  mengada-ada. Jangan sampai anda merasa harus ikut-ikutan membeli alat yang seperti teman anda punya sudah demikian. Saya sendiri suka bilang, “Saya sih nggak bisa bedain, habis kuping saya kan kuping panci, nah kuping kamu punya kan kuping emas”.   Ini sekedar menyikapi bagaimana seringkali kita takut dibilang, “Payah kamu, masak nggak bisa bedain. Tidak high end ah kupingmu”.

Bisa saja memang kualitas suaranya berbeda akan tetapi karena alat pendengaran (telinga) anda belum terlatih untuk mendengarkan bedanya, maka kita jadi tak bisa membedakan. Untuk bisa membedakan, butuh latihan dan jam terbang. Maka kalau boleh saya sarankan, anda bisa join di komunitas atau wadah persahabatan audio, misalnya  IHEAC (Indonesia High End Audio Club), sehingga anda bisa belajar dari teman-teman yang sudah punya jam terbang lebih tinggi.

Ruang demo stereo Audio Jaya, Glodok Plaza.

Yang lebih parah adalah bila teman kita bilang equipment /kabel dia lebih baik dari punya anda, dengan membandingkan sistem audio anda dengan sistemnya yang total berbeda, dan beda waktu dengarnya. Padahal  A/B test dengan sistem yang sama, dengan beda waktu beberapa detik saja kadang susah membedakan. Setuju kan dengan pendapat ini?

Kebiasaan mendengar

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kebiasaan mendengar. Ini ada kaitannya dengan pengalaman. Ambil contoh, saya orang Jawa, jadi kalau makan, yang saya cari pertama adalah kecap manis, karena orang Jawa umumnya mempunyai kecenderungan suka makanan yang manis. Kalau anda bukan orang jawa, ya jangan ikut-ikutan suka manis hanya karena ingin menyamai saya, karena sudah puluhan tahun saya dilatih untuk makan yang manis-manis. Yang parah, kalau anda orang Padang, suka makan makanan Padang, tetapi ikut-ikutan pakai kecap manis, dan anda pikir makin banyak kecapnya, pasti makin enak. Bisa saja makanan itu jadi kurang enak.

Lalu, apa hubungannya ini  dengan audio? Lihat saja,  bagaimana cara anda mendengarkan musik sekian puluh tahun sebelum anda masuk ke dunia high end?  Bagaimana anda melatih telinga anda selama puluhan tahun? Kalau dulunya anda cuma punya kompo, dan cara anda mendengarkan dengan ekualiser berbentuk V (bass dan treble mentok keatas, mid mentok kebawah) plus loudness, terus anda beli perangkat high end yang semuanya flat, maka suara akan terdengar cemplang/tawar. Dengan berbagai cara anda akan menyesuaikan dengan kebiasaan sebelumnya, karena itu sudah terbentuk kedalam memory anda. Semua ini sah saja karena  anda yang mendengarkan. Nah, jika   selera tidak bisa diperdebatkan, karena (rata-rata) orang Jawa suka makanan yang manis, orang Padang suka yang pedas, dan sebagainya.

Ada juga orang yang tidak punya pendirian, alias ikut-ikutan. Karena semua teman-teman high endnya mengutamakan suara mid yang tebal, maka seseorang perlu melakukan  tweak terus-menerus, misalnya dengan mengganti tabungnya,  equipment di upgrade dengan mengganti komponennya. Disini misalnya, seorang itu berpendapat kalau midnya makin tebal pasti makin enak (seperti kecap tadi, kalau makin banyak kecapnya pasti makin enak). Wah ini bisa jadi salah kaprah, karena akhirnya suara vokalnya (mid) jadi seperti orang Jawa karena ‘medok’(ketebelan mid). Akan tetapi kalau kalau memang suka, ya sah-sah aja, kan anda yang dengarkan.

Sistem stereo penulis

Nah, sekarang kalau teman anda mengatakan bahwa sistem anda kurang bass, padahal menurut anda sudah cukup, ya anda tahu bahwa teman anda itu mempunyai kebiasaan mendengarkan musik dengan bass yang dominan, jadi anda jangan kecewa, apalagi sakit hati. Saran saya jangan mudah terpengaruh, percayakan kepada telinga anda, hal ini tergantung dari bagaimana anda melatih telinga anda selama puluhan tahun sebelumnya.

Standarisasi terminologi

Saya perhatikan di audio belum punya standarisasi terminologi, sehingga anda yang belum cukup jam terbang akan diombang-ambingkan oleh komentar orang dengan jargon high endnya. Misalnya, teman anda akan mengatakan, “Wah midnya butek”. Yang lain mengataan, “Mid nya bukan butek, tetapi tebal”, atau “Wah midnya tipis kurang bobot”, “Ini sih transparan bukan tipis”, “Wah treblenya airy” tetapi yang lain bilang,”Ini sih pedas”, padahal sih sama saja, anda melihat gelas terisi air setengah isi atau setengah kosong.

Kita bisa bertemu lagi dengan jargon-jargon seperti, transparan, transien, depth, staging, dan sebagainya. Padahal pengertian orang bisa berbeda. Belum lagi ditambah karena kemampuan mendengar kita tidak sama (masalah kalibrasi telinga tadi), maka kita bisa katakan kenikmatan ini  adalah sesuatu yang abstrak. Contohnya tentang transparansi suara, apa sih yang disebut dengan transparn? Apa saja parameternya? Bagaimana mengukurnya, apa satuannya, apa referensinya, wah ribet.  Sampai-sampai kita bertanya, apakah ini  hanya ilusi yang diciptakan.

Anda sebagai penggemar musik, mungkin saja anda punya kelompok, dimana anda biasa saling tukar informasi. Biasanya ada orang yang anda anggap lebih senior sehingga setiap perkataannya anda jadikan kesimpulan. Masalahnya apakah orang tersebut punya kredibilitas, karena high end tidak ada sekolahnya. Saya belum pernah dengar orang punya gelar sarjana high end, tapi mungkin saja saya salah. Yang ada adalah orang yang mempunyai jam terbang.

Saya ambil contoh seorang ahli pondasi yang sudah meninggal (bagi kontraktor tentu tahu yang saya maksud). Biasanya beliau untuk menentukan kedalaman pondasi sebuah bangunan, hanya cukup melepas sepatu dan kaos kakinya dilahan yang akan dibangun, beliau sudah dapat menganalisa kekerasan tanah plus kedalaman pondasi yang dibutuhkan. Saya yakin ini bukan ilmu yang diajarkan disekolah fakultas teknik sipil, tapi dari pengalaman lebih dari 40 tahun beliau menggeluti pondasi.

Pernahkah anda tau kenapa sandal yang anda pakai disebut sandal? Karena persetujuan orang sedunia sejak sekian ribu tahun yang lalu, bahwa yang bentuknya seperti itu disebut sandal. Nah kalo jargon high end? Setiap orang bisa saja punya acuannya sendiri-sendiri, dan selalu menganggap pendapatnya yang paling benar.

Saran saya, sering-seringlah anda baca majalah luar negeri. Setau saya ada lebih dari 10 judul majalah yang beredar, dari seluruh dunia. Ini kalau memang anda  tipe orang yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Jika tidak, ya dengarkan musik anda saja, tak usah dengar komentar orang.

Penutup

Tulisan ini dibuat untuk orang baru yang pendiriannya belum cukup kuat, karena  bisa jadi masalah diombang-ambingkan. Apa lagi kalau yang mengatakan hal yang sama lebih dari satu orang. Bayangkan kalau dalam sehari ada 5 orang bilang ke anda, anda ganteng, saya yakin percaya diri anda pada hari itu meningkat 100%, “jangan-jangan  saya memang ganteng”, haha.

Ada satu merek speaker, yang menurut hampir semua orang yang saya kenal, trebelnya pedes. Tapi ada satu orang yang saya kenal yang suka dengan speaker ini. Yang pendiriannya tidak goyah, tidak perduli dengan apa kata orang, “uang uang gua, yang dengerin gua, gak ada urusan ama orang lain, mau pedes mau buntung, suka suka gua” katanya.  Jadi anda harus punya pendirian, saran saya percayakan saja pada telinga anda. Untuk itu, jagalah telinga anda sebaik mungkin, jangan lupa dibersihkan secara berkala, ya tidak?

Akhir kata, ini Cuma Saran, boleh setuju boleh tidak.

Stephen Adijuwono(pehobi.Anggota IHEAC)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here