kontak

Tanggal 27 September 2021 lalu di Kelapa Gading, Jakarta – kami bertemu Russel, seorang pehobi dan praktisi home audio dan video. Kami mengobrol banyak hal, termasuk tentang bagaimana orang mendengar rekaman audio pada umumnya. Juga tentang rencana kita kedepan untukk mengadakan acara obrolan bersama  tentang seputar audio, mulai dari membahas masalah audio dari segi teori maupun penerapannya sampai membahas issue issue yang lagi hot diseputar dunia audio.

Kami sempat menanyakan apakah ada satu acuan baku yang bisa dijadikan patokan dalam mendengar dan menilai system audio sehingga para penghoby audio tahu apa yang dicari sebagai patokannya. Seperti kita tahu sampai sekarang ini para penghoby audio atau audiophile dalam mendengar dan menilai satu system audio yang jadi patokan adalah kebiasaan dengar atau patokan patokan umumnya yang sering kali membuat kebingungan banyak orang karena semuanya tidak baku dan berdasarkan asumsi atau kebiasaan atau informasi yang didapatkan dari orang lain. Kita sering mendengar istilah dephtnya yang kurang atau suaranya kurang lebar atau suaranya kurang hidup atau istilah istilah lain yang menurut kami semua tidak baku, apalagi seperti kita tahu bahwa semua orang mempunyai kuping yang berbeda beda dan otomatis semua yang didengar dari satu system audio otomatis akan berbeda di kuping kita masing masing, belum lagi perbedaan umur yang juga mempengaruhi pendengaran kita.

Untuk menjawab itu semua, ikutilah penjelasan dibawah ini

Pelajaran dari Dua Video

Sebelum membahas lebih jauh, Russel memutar dua potongan video (seperti video diatas) dilaptopnya. Sebelum menonton dan mendengarkan, kami sarankan  anda mendengarkan video tersebut memakai Notebook atau PC yang ada speaker stereonya. Apabila mendengarkannya memakai HP, sambungkan HP ke speaker stereo agar kita bisa merasakan efek ambience perpindahan suara dimana kita juga tahu kalau seorang master recording engineering akan memakai speaker stereo sebagai patokan suara yang didengar.

Kami tidak menyarankan memakai headphone atau earphone karena tidak bisa memberikan efek ambience ke pendengaran kita.

Video ini  diambil dari potongan video “Belajar merekam secara proper versi online”. Dimana dipotongan video tesebut kita bisa melihat bagaimana seorang perekam (master recording engineering) membuat satu suara (vokal) yang aslinya direkam tanpa efek apapun dibuat menjadi depth atau melebar kekiri dan kanan atau menjadi live dan mati atau efek lainnya hanya dengan memakai (menambahkan) delay dan reverb (sekedar catatan pemakaian delay dan reverb ini adalah sebagian cara dalam membuat efek efek tersebut dan ini belum sempurna, diperlukan tehnik tambahan lainnya agar membuat menjadi sempurna).

Dari video tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan kalau pada dasarnya suara hasil rekaman entah itu vokal ataupun alat musik pada mulanya direkam hanya dari suara aslinya saja tanpa ada efek apapun, dimana ketika proses mixing, barulah siperekam mengatur posisi para pemain musik atau vokalnya serta efek apa yang akan ditambahkan dan ini semua hanya ada didalam imaginasi sang perekam dan tentu saja dengan hasil diskusi bersama musisi atau vokalisnya bagaimana posisi atau efek apa yang mereka harapkan dalam rekaman tersebut. Dalam video tersebut kita bisa lihat dan dengar bagaimana suara asli yang dibuat menjadi kekiri, kekanan, ditengah, kedepan ataupun kebelakang. Bahkan suara tersebut bisa dibuat menjadi bergema ataupun mati.

Oleh karena itu, adalah sangat sulit untuk menilai suara yang kita dengar dari satu system audio dengan memperhatikan kedalaman suaranya (depth) atau lebarnya suara atau live tidaknya suara atau istilah istilah lainnya yang sering kita dengar dari para penghoby audio (audiophile) pada umumnya, karena kita tidak pernah tahu apa yang dipikirkan oleh sang perekam (imaginasi perekam) ketika merekam rekaman yang kita dengar tersebut.

Ya… dalam beberapa rekaman CD atau LP audiophile yang baik (bagus), memang ada yang memasukan informasi posisi pemusik dan vokalisnya kedalam buku yang dilampirkan dalam CD atau LP tersebut. Akan tetapi ini pun bukan sesuatu yang benar benar mudah untuk kita nilai apakah kiri kanannya posisi pemusik sudah tepat jaraknya atau kedalaman alat musiknya sudah tepat sesuai dengan keinginan sang perekam, begitu juga dengan efek gema atau live nya apakah sesuai juga dengan keinginan sang perekam.

Jadi apa yang bisa kita pakai sebagai patokan untuk mendengar dan menilai satu audio system kalau kita sudah menjadi seorang pendengar audio yang masuk dalam kategori critical listener, katagori yang dibuat oleh Russel untuk pendengar audio yang sudah menuntut lebih dari hanya sekedar mendengarkan dan menikmati musik dari audio system (untuk lebih jauh bahasan mengenai kategori pendengar audio versi Russel, kami mempunyai rencana membuat acara ngobrol bersama Russel dimana rekaman acara tersebut akan dipost di YouTube Channel : Whathifiindonesia).

Jawabannya, dengarlah bentuk suara alat musik dan vokalnya. Seperti kita lihat di video tersebut dimana suara rekaman pada mulanya berasal dari suara asli dari alat musik atau vokalis tanpa dibumbui oleh efek apapun, dimana suara alat musik atau vokalis itu direkam melalui mic (microphone) yang diletakan sedekat mungkin kealat musiknya ataupun ke mulut vokalisnya (sebagai catatan, seorang perekam proper hal penempatan mic ini adalah baku). Penempatan mic yang sedekat mungkin tersebut bertujuan agar suara dan bentuk alat musik maupun vokalisnya bisa terekam semirip mungkin dengan aslinya. Contohnya dalam merekam alat musik terompet dimana mic nya akan ditaruh (dijepit) dibibir terompetnya atau ditaruh sedekat mungkin dekat terompetnya ketika dimainkan oleh pemusiknya (apabila tidak memakai mic type jepit). Semua ini dilakukan agar suara terompet yang keluar bisa langsung terekam oleh mic nya sehingga suara dan bentuk (ukuran) corong terompetnya bisa terekam seasli atau semirip mungkin. Bisa kita bayangkan kalau terompet direkam dengan memakai mic yang ditaruh satu meter jaraknya, suara yang terekam mungkin masih bisa semirip aslinya, tapi bentuk (ukuran) dari corong terompetnya akan menjadi besar dikarenakan terjadi pengembangan bentuk (ukuran) akibat jarak corong terompet ke mic yang jauh.

Russel menjelaskan lebih jauh kalau yang kita dengar adalah rekaman dimana isi rekaman tersebut hanya berisi signal dimana signal tersebut akan direproduksi menjadi suara lewat peralatan audio system dan signal tersebut berisi semua informasi dari bentuk suara alat musik atau vokal termasuk imaginasi sang perekam terhadap posisi pemusik dan vokalisnya plus efek lainnya pada saat mixing, maka secara logika apabila satu audio system sudah bisa memproduksi bentuk (ukuran) alat musik atau vokalnya dengan benar, maka otomatis suara posisi pemusik ataupun efek lain dari imaginasi sang perekam akan terdengar sendirinya. Perlu diingat kalau peralatan audio tidak bisa membedakan mana signal untuk alat musik atau vokal ataupun efek efeknya. Semua menjadi satu kesatuan, jadi kalau satu sudah benar otomatis yang lain akan ikut dengan sendirinya. Oleh karena itu menurut Russel dengan mendengar bentuk suara alat musik, bisa menjadi satu patokan baku dalam menilai satu system audio.

“Disinilah  letak kenikmatan dalam bermain audio system, dimana dengan bertambahnya pengetahuan tentang cara mendengarkan akan membuat kita berusaha mencapai standard dengar kita yang sudah makin bertambah itu. Dan apabila standard tersebut tercapai, kita akan merasakan satu kepuasan tersendiri yang sangat sulit dikatakan atau dijabarkan” katanya.

Sekali lagi Russel mengatakan “inilah kenikmatan bermain audio system…. Terlepas dari kenikmatan mendengar musik atau lagunya sendiri”, sambil tersenyum dan menghirup kopi mengakhiri obrolan kami.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here