www.whathifi.id – Meskipun kami bisa menikmatinya, hi-fi ternyata tidak selalu identik dengan yang namanya kenyamanan – anda mungkin jadi bergelut dengan kabel yang kusut, anda jadi gundah oleh omongan orang tentang turntable anda, godaan berat untuk mengganti perangkat anda dengan yang lebih terkini agar dikatakan naik kelas, dan lain lain.
Demi kian mendekatkan dua hal diatas tadi, muncullah kemudian sebuh era baru sistem streaming ‘just-add-speaker’. Dalam beberapa tahun terakhir, merek elektronik telah menggabungkan streamer musik dan amplifier dalam satu kotak tetapi multifungsi. Suaranya pun suara hifi yang menarik dan tidak melelahkan telinga. Dengan kotak streaming serbaguna seperti itu, bisa dibilang sistem mikro sudah cukup umur.
Setelah memantapkan dirinya di kedua bidang keahlian audio, Cambridge Audio kini telah memasuki pasar dengan Evo 75 dan Evo 150. Kami duduk bersama direktur pelaksana perusahaan, Stuart George, untuk berbicara tentang bagaimana pendekatannya dalam menciptakan sesuatu yang melampaui batas. Juga tentang desain gaya hidup – sesuatu yang pada dasarnya harus relevan dengan audiens yang lebih besar lagi.
Looking over the edge
Semuanya dimulai dengan Edge, seri hi-fi andalan Cambridge yang diperkenalkan pada tahun 2018. “Ketika kami meluncurkan Edge, muncul kemudian sebuah pertanyaan dari pasar, yakni ‘mengapa Anda tidak memasang modul streaming di amplifier Edge A?’ Inilah yang kemudian menjadi bagian dari inspirasi untuk kami munculkan di Evo. Sebelumnya kami berpikir bahwa produk all-in-one itu haruslah menyertakan pemutar CD. Evo ini tidak pernah kami maksudkan untuk menjadi sebuah ‘mini Edge’, tetapi konsep kami adalah mencoba memasukkan semua kualitas Edge ke dalam sebuah bentuk yang lebih kecil.”
George memang tidak mengklaim bahwa kualitas sonik Edge cocok dengan Evo. Lagi pula, preamp streaming Edge NQ Cambridge dan power amp Edge W menurut kami adalah sebuah kombinasi yang aneh untuk harga £ 6000, sedangkan Evo saja harganya sekitar sepertiga dari itu. Tetapi mungkin saja keduanya tidak bisa dibandingkan secara apple to apple.
Streamer dan amplifier seri CX yang bermain di kelas menengah Cambridge, kombinasi harganya barulah bisa dibandingkan dengan Evo.
“Saya tidak akan memberi tahu Anda bagaimana Evo bisa sebagus CXN dan CX81 yang disatukan bersama-sama,” kata George. “Keduanya bisa saja bisa dibandingkan; akan tetapi kita tidak seang berbicara tentang perbedaan siang dan malam. Kita sedang berbicara tentang nuansa. Saya mungkin suka menyebutnya sebagai sebuah ‘gaya hidup’, tetapi kemudian lebih pas menyebutnya sebagai ‘sebuah produk hi-fi yang tepat.”
Konsep one-box ini tidak dapat diharapkan akan punya penampilan yang lebih baik ketimbang bila kita memakai komponen terpisah pada nilai komponen kombinasi yang sama dengan yang one box tadi. Lagi pula, cukup banyak barang elektronik yang dapat Anda muat di dalam kotak seukuran ini. Mereka cenderung lebih kecil dari sasis lebar penuhnya sehingga dapat dengan mudah dibuatkan rumah.
“Pertanyaannya, bagaimana hal demikian ini cocok untuk kehidupan orang-orang. Dan tidak ada masalah bila kita memilikinya di ruang tamu dibandingkan dengan beberapa kotak Edge, ”kata George. Dia mengakui bahwa Cambridge harus memperluas ukuran aslinya sehingga dapat memuat semua yang ada di dalamnya.
Class distinctions
Inilah alasan mengapa Cambridge berkelana di luar desain penguat Kelas XA dan Kelas AB, yang merupakan inti dari amplifier khususnya. Pilihannya adalah bermain di penguat Kelas D, setelah menyaari bahwa ini adalah sebuah area yang belum pernah masuki oleh Cambridge, dan akhirnya memilih solusi NCore Hypex.
“Evo punya ambisi untuk menggunakan footprint yang jauh lebih kecil, jadi kami tahu bahwa kami harus pergi ke satu area di Kelas D,”jelas George “Teknologi inilah yang sementara waktu ini ada dalam kualitas yang bervariasi, tetapi beberapa tahun belakangan ini telah mencapai sebuah level di mana dari situ para insinyur kami kemudian mengatakan bahwa kami harus menggunakannya. Evo adalah cara sempurna kami dalam melakukannya”kata George.
“Hypex adalah solusi cerdas, solusi serbaguna. Ini bagus dalam memberikan kinerja dan output dengan cara yang dapat menangani berbagai resistensi dan impedansi di berbagai jenis speaker.”
Insinyur elektronik senior Cambridge Audio, Francesco Bettucci, mengatakan bahwa pengembangan loop umpan balik Hypex adalah yang membedakannya dari solusi lain: “Ini berarti bahwa mereka mencapai impedansi keluaran rendah, tidak ada resonansi pada frekuensi tinggi, seperti banyak Kelas lainnya. Amplifier D sendiri dimaknai sebagai kelas yang tidak menampilkan artefak dalam rentang frekuensi tinggi. Ini juga mencapai distorsi yang sangat rendah, yang sebanding dengan ampli Kelas AB terbaik.”
Jadi bagaimana Cambridge mengambil desain amplifikasi pihak ketiga dan menjadikannya sebagai produk yang terdengar seperti Cambridge?
“Elemen penyetelan kami masuk di preamplifier,” kata George. “Di situlah para insinyur kami menghabiskan banyak waktu merancang komponen yang mencakup aspek kekuatan produk. Kita melakukannya dengan latihan yang cermat, mulai dari saat asyik duduk sambil mengutak-atik berbagai komponen dan lalu mendengarkannya – berjam-jam tanpa henti. Saat mendesainnya di atas kertas, ini adalah latihan yang relatif cepat. Yang membutuhkan waktu adalah saat kami mengutak-atiknya. Performa mendengarkan lebih menarik ketimbang performa terukur.”
Updated features
Bagi Cambridge, daya tarik MQA (teknologi di balik Tidal Masters beresolusi tinggi) terbukti bermasalah karena memerlukan perangkat keras yang tidak dimiliki oleh streamer musik yang ada, seperti CXN. Evo baru memiliki internal untuk mendukung MQA, dan meskipun Cambridge telah berjanji untuk menawarkan fitur baru kepada pengguna yang ada melalui pembaruan bila memungkinkan, Evo tidak secara fisik modular. Jika penghalang seperti MQA lainnya muncul, itu bisa berpotensi merepotkan.
“Dulu ketika kami meluncurkan Zandor (iterasi StreamMagic), yang mendahului Black Marlin, apa yang kami tentukan berada di luar persyaratan saat itu,” kata George. “Sejauh yang kami bisa lihat, tidak akan ada yang menahan kami untuk melakukan banyak hal adalah di Chromecast. Persyaratan Google sangat besar dan tidak berfokus pada audio, dan membuatnya sulit untuk memenuhinya di ruang yang kami alokasikan untuk aspek pemrosesan tersebut; jadi kami melampaui versi platform itu dan harus terus berjalan. Kami terikat pada orang-orang ini. Ini pertunjukan yang sulit. Tetapi saat ini, kami tidak melihat adanya perubahan yang berarti Evo ini tidak akan bertahan dalam ujian waktu.”