kontak

Whathifi.id –   Bilakah bass yang menyebar secara omni, dibuat jadi cardioid, bila memang tidak ingin mengubah desain ruang sekaligus tak ingin mengganggu lingkungan diluar area resto atau rumah kita?

Room Hummingbird

Adalah Hummingbird Eatery & Spaces,  sebuah resto di Bandung yang menyajikan aneka masakan dari aneka bangsa. Ada gaya  Western, Eropa seperti dari Italia, juga menu Asia. Konsepnya modern heritage dengan banyak menu seperti  ayam goreng rempah yang boleh dikatakan termasuk best seller di Asia. Orang kesini tidak hanya untuk berkulineran, tetapi juga untuk meeting atau mengadakan pesta.

Saat ke Bandung menemui Hardy Nanda, kami diajak ke restoran ini. Begitu masuk, kami diajak jalan-jalan dahulu ke dalamnya. Ada sebuah area seperti open bar yang cukup luas dimana di dalamnya ada satu area untuk orang bermain musik (liveshow). Ada juga sebuah dapur terbuka, dengan sebuah tungku besar untuk memanggang pizza. Di lantai dua-nya ada sebuah ruang ‘Vvip’ dan bisa untuk acara private, kumpul keluarga sambil makan-makan, juga pesta.

The Hummingbird, banyak memiliki ruangan dengan gaya berlainan untuk menikmati kulineran. Salah satunya adalah ruang VVIP ini, yang dikhususkan untuk private party, acara keluarga, dan lain lain.

Konsep menata suara

Suatu kali, pemilik  Hummingbird ingin agar ada area untuk live music di area bangunan dua lantai yang juga memiliki basement untuk parkir mobil ini.  Maka dia pun memasangnya di lantai dasar. Tetapi saat mendengar hasil suaranya, dia merasa kurang puas. Dia pun mencoba menata dan membongkar pasang sistem ini, tetapi baginya tetap suaranya  terasa aneh. Ini tentu disayangkan mengingat Hummingbird termasuk resto bergaya lifestyle bernuansa ceria dalam balutan kemewahan, dimana musik bisa saja menjadi unsur yang kian membuat nuansa ceria.

Pemilik ini bersahabat dengan Hardy Nanda yang merupakan Technical Advisor PT Esa Sinergi Selaras Indonesia (ESSI). Ini adalah perusahaan yang bergerak dalam jasa dan konsultan serta integrator tata suara, lighting dan interior akustik. Dia pun mengundang Hardy beserta timnya ke restonya dan berkonsultasi dengannya tentang suara ini.

Ketika kami temui, Hardy mengungkapkan beberapa hal. Pertama, dia dapati  ruangan resto ini  sudah keburu jadi, dan pemiliknya tak ingin mengubah desain ruang. Di ruangan ini, faktor akustik sama sekali tidak diperhitungkan dalam perancangan arsitektur ruangan. Hal kedua, pemilik tak ingin penataan suara mempengaruhi keindahan/interior ruangan, misalnya melihat kabel kabel yang menjulur. Ketiga, dia ingin musik khususnya bila malam hari, tak mengganggu rumah sekitar, khususnya efek suara hentakan bass. Maka Hardy pun berusaha untuk  membuat suara yang nyaman didengar pengunjung, dengan pukulan bass yang solid dan definitive, tapi tak berisik, serta tidak mengganggu tetangga rumah.

Memilih speaker

Area untuk live musik di sisi kanan tengah, dimana ada sepasang speaker Yamaha menggantung, dan subwoofer besar persis disamping meja dimana ada dua pengunjung sedang duduk (lihat sisi kanan). Bass yang digelontorkan subwoofer besar ini tak terasakan mengganggu tamu Hummingbird ini.

Bersama tim ESSI, Hardy lalu berusaha memperbaiki tampilan suara di ruang ini. Kami lalu diajak ke ruang makan dimana ada area untuk live music. Di ruang ini, Tim ESSI melakukan pengukuran. Dijumpai,  cacat akustik ruang ini “merepotkan”. Ruangan banyak memantulkan suara hampir dari seluruh bagian dinding dan plafond termasuk lantai. Tak heran jika suara dikeraskan, akan terasa bising sekali.  Maka Hardy mencari hingga mendapatkan titik optimal penempatan speaker dan subwoofer, juga memikirkan settingnya. Singkat cerita, Hardy menemukan bahwa titik lokasi speaker ada di titik tengah (seperti terlihat pada gambar), dengan kemiringan speaker di 52 derajat seperti ini. Inilah titik hasil perhitungan dan  kesan dengar setelah memperhatikan bagaimana tingkat  cacat akustiknya yang terbilang sudah tinggi (dan tak mungkin lagi membongkar ruangan).

Sebuah subwoofer besar lagi, dipakai di ujung ruangan(tepat dibalik kaca sisi belakang ruang), besarnya sama. Tak ada yang mengira ini adalah sebuah subwoofer.

Dipakailah speaker Yamaha DBR 15. Ini menarik, karena justru yang dipilih adalah seri speaker “entri level” Yamaha, untuk menyesuaikan urusan budget yang dialokasikan oleh Owner. Hardy berpendapat, walau kelasnya biasa, tetapi dengan penempatan yang maksimal di titik yang tepat, hasilnya akan jauh melebihi dari biasanya yang dijumpai

Hardy sempat berpikir, harus  mengggunakan speaker dengan frekuensi respon dan sensitivitas berapa?  Namun dia tak terlalu terpaku pada spsifikasi yang tertulis di produk karena menurutnya kadang ini hanya bahasa ‘marketing’ saja. Yang dia ingin tahu realitanya, apakah speaker ini akan mengalami distorsi saat dipakai bermain kencang di area sepanjang 14 meteran ini ? Kemudian dia dapati, jika menurut pabriknya, kemiringan optimal disarankan tidak lebih dari 45 derajat, dia temukan ternyata di ruang  ini optimalnya di kemiringan 52 derajat. Disini penempatannya dibalik, dimana tweeternya justru ‘berpindah’ ke bawah. Ini dilakukan untuk meminimalkan efek pantulan suara treble dari plafond, yang bisa membuat suara hi berantakan dan kenyamanan mendengar jadi terganggu.

Sub Besar

Bagaimana dengan subwoofer? Dimana posisinya, berapa besarnya, perlu berapa buah – agar mendapatkan apa yang diinginkan? Di tengah, dekat dengan area live music ini,  kami melihat sebuah benda menyerupai sebuah kabinet,cukup besar. Ternyata ini adalah sebuah subwoofer dengan dua buah driver. Hardy rupanya membuat  subwoofer ini  untuk menampilkan bass, tetapi dengan pola sebaran suara ke belakang saja. Ini merupakan cara mensiasati bagaimana agar bass yang sifatnya omnidirectional (menyebar merata ke segala arah) diupayakan lebih banyak menyebar ke depan. Jika meminjam istilah dalam jenis mikrofon,  sifatnya  cardioid. Bagaimana caranya? Begini tipsnya Hardy. Salah satu driver subnya dibalik.  Ini dilakukan, lebih kepada agar bass yang tampil tidak menyeruak keluar resto sehingga mengganggu tetangga. Tentu saja tidak semua subwoofer bisa melakukan hal ini. Menurut Hardy, dengan pola ini suara bawahnya bisa sampai 32 hz.

Ada dua subwoofer dengan dua woofer.Jadi  area live music ini memakai 4 speaker atas (konfigurasinya 2 – 2) dengan 4 woofer subwoofer juga dengan konfigurasi 2 -2 (dua di depan dan dua di belakang). Subwoofer yang di depan area panggung bisa mengkaver area makan seperti terlihat di foto.

Sebuah benda yang kami kira sebuah kabinet, ternyata adalah sebuah subwoofer Yamaha

Ada lagi subwoofer  yang yang diletakkan di ujung ruangan dan polanya saling berhadapan dengan yang pertama. Tujuan utamanya, adalah untuk  menjaga agar bass di depan tak terlalu kencang. Tetap nikmat didengar tanpa perlu mengganggu tetangga. Selain itu adalah untuk mendelay suara.  Saat  bentuknya lurus ketika disambung, bentuknya sudah bukan omni lagi.

Disini Hardy memasang sistem 2.2 channel dengan area sangat luas..  Ini tentu tantangan yang sangat sulit.  Terlebih mengingat di belakang dan disamping ruangan adalah kaca kaca. Maka dibantulah dengan subwoofer kedua. Subwoofer kedua ini mendukung keluaran suara dari subwoofer pertama. Hebatnya, bila kita duduk persis di depan subwoofer pertama ini, kita akan betah saja duduk disitu, padahal di area ini bass terbilang paling kencang. Sekali lagi, faktor cancellation perlu juga diperhatikan.

Inilah gambaran bagaimana dengan setting yang benar, kesan suara yang terdengar bahkan untuk area public tanpa merusak desain bangunan dan interior, bisa terdengar nikmat, dan dapat memuaskan keinginan sang pemilik.  Bahkan menurut Hardy, beberapa musisi yang main disini mengakui merasa paling nyaman, paling enjoy bermain music di tempat ini.

 

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here