kontak

whathifi.id – Akhirnya terpuaskan juga rasa kepo kami akan Avatar 2 : The Way of Water, setelah menyimaknya selama 3 jam bersama Komunitas Nonton Bareng  yang  menggelar acara nonton bareng film ini di Flix Cinema District 8, mal Astha, Jakarta Selatan.

Nuansa nobar di studio Platinum 4, Flix Astha

Avatar 2 adalah film fiksi epik ilmiah Amerika yang ceritanya ingin mengajak kita untuk mengagumi keindahan lautan, walau sebagian besar mahluknya baru kali ini kita lihat, termasuk monster Tulkun berupa paus super besar yang menjadi ‘Toruk Makto’nya (lihat Avatar 1)  hutan . Ada saja ide brilian James Cameron dengan Rick Jaffa dan Amanda Silver yang ditumpahkan dalam gambar dan cerita. Film yang diproduksi Lightstorm Entertainment dan TSG Entertainment dan disebarkan oleh 20th Century Studios ini juga punya kandungan positif untuk kita yang menontnon, seperti kandungan inspirasi dan ajaran serta semangat hidup.   Dia  mengandung ajaran hidup, seperti berani keluar dari zona nyaman asalkan dengan perhitungan dan mendengar saran bijak. Lalu ajaran untuk punya ‘strong heart’ dalam menghadapi cobaan berat. Juga ajaran untuk tetap ‘fight’. Tak mundur betapapun cobaan berat sekalipun.

Sebagian besar  film ini lebih banyak dihabiskan keluarga Jake Sully (Jake,Neytiri dan anak anaknya) di ‘perkampungan laut’ Metkayina, sebagai upaya mereka menyelamatkan diri bersama keluarganya ketika diburu sosok kolonel Miles Quaritch yang dikatakan lahir di Pandora dan gagal dibawa ke bumi lalu ditugaskan untuk melenyapkan Jake dan Neytiri. Dan seperti sudah bisa ditebak, akhir film adalah adu jotos antara Jake dan Miles. Tadinya terpikir mereka akan perang di udara dengan banshee (burung besar) tetapi sesuai judulnya  Way of Water, mereka pun tarung di atas permukaan laut, dimana Jake dan teman temannya mengendarai kuda laut bernama Ilu.Dan kami duga, pertarungannya akan berlangsung cukup lama karena keduanya terbilang sama sama kuat, sama sama Na’vi, walau yang satu Na’vi ‘kw’, tetapi ternyata tak berlangsung lama.

Film yang mengajak kita ke planet fiktif bernama Pandora ini juga membawa penonton ke aroma miris, seperti saat Tulkun diburu habis dan dianiaya. Tulkun adalah makhluk besar mirip paus dan panjangnya sekitar 90 meter saat dewasa. Mereka secerdas suku Na’vi dan telah membentuk budaya di antara mereka sendiri, termasuk doktrin kuno yang melarang segala bentuk pembunuhan. Sama seperti lumba-lumba Terran, Tulkun sangat linguistik dan dapat berkomunikasi dengan Na’vi dan menjalin ikatan seumur hidup dengan mereka. Mereka sangat dekat dengan marga Metkayina; mereka merayakan keluarga satu sama lain dan meratapi kehilangan bersama.

Suara

Film ini juga bicara tentang suara. Kita bisa amati dalam beberapa adegan, betapa suara sangat penting dalam membangun emosi tonton, mulai dari yang sederhana seperti suara hujan yang mengelilingi kita saat adegan kematian seekor Tulkun,  tepatnya lokalisasi seperti suara senapan di layar, suara Tulkun, kedalaman laut.  Film ini juga menengahkan kecepatan dan akuratisasi suara. Dan seperti pernah kami tulis di Facebook WhathiFi Indonesia,tentang pentingnya suara dan gambar yang ‘ngeblend’, yang merupakan obrolan singkat dengan Sie Kek Cung, desainer Flix Cinema.

Menurutnya, sound di film bisa saja bagus, tetapi ada emosinya nggak? Kalau ada, kita bisa mudah terbawa arus film itu, lalu menilai bagus tidaknya suara.

Foto bareng setelah nonton bareng, sebagian peserta nobar Avatar 2

Yap, nonton Avatar 2 ini, terlihat bagaimana gambar dan suara sudah ngeblend. Tidak jalan sendiri sendiri. Jadi emosi sendiri. Saat dibuat, tentu film aslinya sudah ngeblend. Tetapi begitu masuk cinema tertentu, bisa saja karena settingan yang kurang baik, keduanya kurang bisa menyatu. Dan menyatukan keduanya, melalui misalnya speaker kiri, tengah dan kana,  kata KC bukan hal mudah. Disini dia upayakan bagaimana agar elemen yang ada (musik, efek, dialog, gambar) tidak saling menutupi, dan saat surround pun bisa main dengan leluasa, tak ada yang mengganggu telinga penikmat, sehingga dia bisa terbawa ke arus film.  Tak boleh ada yang terlalu keras atau terlalu kecil. Diupayakan bagaimana agar efeknya pas.  Nah disinilah kita akan ketemu sama yang namanya delay, misalnya antara  antara speaker center dengan kiri dan  kanan, juga delay subwoofer terhadap speaker center, juga subnya terhadap surround.

Sempat juga tanya ke sebagian peserta nobar, dan sebagian besar menyatakan pendapatnya yang memuji kesan tampilan suara yang sudah optimal. Berikut adalah sebagian pendapat mereka.

“Tata Suara yang baik, dynamic, impact yang begitu terasa tanpa menyakiti telinga selama lebih dari 3 jam serta artikulasi yang jelas dari vokalnya. Hanya saja tidak bisa semegah atau suara yang grand, big bila dibandingkan dengan ruangan bioskop yang lebih besar seperti yang ada di Flix MOI Kelapa Gading”

“Jika bicara minusnya – saat layar gelap masih ada cahaya, tidak full black layarnya, jadi kurang  dalam hal kekontrasan gambarnya. Plusnya, musiknya sangat bagus, audionya detail full spectrum freq response, seperti kita dengar musik high end di rumah.”

Jadi memang ada tiga kekuatan dari film ini, yakni gambar, suara dan cerita. Ketiganya inilah yang bikin ‘kepo’ para penontonnya. Dan pada akhirnya, dengan ketiganya  inilah kita dibawa berwisata mata dan telinga, khususnya dengan nobar di Flix District 8 mal Astha ini. Untuk soal jalan cerita, semua sama sama tahu, akan ada sekuel lanjutannya. Jadi, untuk sementara, film ini masih seperti tak akan ada habis ceritanya, karena tiap edisinya, datang musuh yang sepertinya bergantian ingin melenyapkan Jake Sully. Alur ceritanya termasuk menarik walau perlu dituangkan selama 3 jam, dan bisa saja ditengah jalan  kita dihinggapi semacam rasa penat atau bosan sendiri.  Syukurlah di bagian akhir, kita diajak menatapi terus layar sambil dihanyutkan oleh padu padannya gambar dan suara yang membawa emosi kita menonton.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here